Akhwat beda dengan ikhwan, dalam menjalankan aktivitas pun sangat berbeda, tapi hukum syara’ memandang sejajar antara ikhwan dan akhwat.
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan," (QS Al-Isra ; 70).
Karena saya akhwat, saya ingin membahas aktivitas akhwat dan batasannya seperti apa. Kadang saya melihat dan menilai bahwa secara tidak sengaja telah terjadi pelanggaran hukum syara’ dalam konteks ijtima’i atau pergaulan dengan lawan jenis, karena mereka belum mafhum aktivitas mana saja yang termasuk hayatul khas dan hayatul ‘aam.
Di kalangan ikhwan pun terkadang ada pelanggaran hukum syara’ karena sikap yang kurang tegas dan kurang mengetahui batasan aktivitas akhwat itu seperti apa dalam konteks hubungan demi maslahat masing-masing, yang sesuai dengan hukum syara’.
Saya ingin memaparkan aktivitas akhwat dalam konteks hubungan interpersonal dengan ikhwan atau ijtima’i;
1.Hayatu ‘aam
Hayatul ‘aam atau kehidupan umum bagi akhwat adalah seputar kehidupan yang menyangkut perkara pendidikan, mu’amalah, kesehatan. Hayatul ‘aam ini maknanya bagi akhwat, dia boleh bercerita tentang ketiga perkara tadi, selebihnya tidak boleh karena sudah menyangkut hayatul khas. Bagi ikhwan manapun hanya cukup untuk mengetahui ”hayatul ’aam”, kehidupan umumnya saja, seperti contoh diatas; pendidikan, tempat tinggal, hobi, aktivitas di lembaga dan lain-lain.
Sedangkan "hayatul khas", sudah sangat privasi sekali yang menyangkut kehidupan pribadi, seperti keadaan keluarga, dan keadaan dirinya. Bagi akhwat tidak boleh menceritakan hal-hal tadi kepada ajnaby (orang asing). Hayatul khas boleh di ceritakan dalam jika seorang akhwat telah di khitbah. Diperkenankan bagi dia untuk menceritakan ke ikhwan yang telah mengkhitbahnya sebagai pertimbangan untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
Dan ketika berinteraksi dengan lawan jenis, seorang akhwat sebaiknya bertindak dan berbicara seperlunya saja, tegas dan jelas tapi bukan bermakna kaku ketika berkomunikasi. Terkadang dalam dunia akhwat ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis, mungkin karena secara psikologis akhwat memiliki karater ingin di perhatikan atau malah kadang cari perhatian, ia mencari alasan agar bisa berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi kalau sudah menyangkut ’masalah hati’, mudah sekali terjadi pelanggaran, ditambah lagi jika ikhwannya juga belum mafhum bagaimana selayaknya berinteraksi dengan ikhwan di luar hal yang tidak seharusnya. Misal, diskusi, dengan kata lain, berinteraksi dengan ikhwan karena ’ilmu. Saya memandang hal seperti ini di bolehkan.
Tapi, ada beberapa hal yang memang harus si akhwat sendiri bisa menjaminnya, sesuai dengan perkataan Rasul Saw., "Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka bertindaklah sesuka kalian".
Pertama, fitnah. Bisa anda jamin selama interaksi tidak akan terjadi fitnah? Mungkin masih bisa di jelaskan, dengan perkataan "saya sama dia cuma teman, hanya sebatas berbagi ilmu ..." Tapi kalau saya sendiri akan mencari amannya saja, karena fitnah itu ibaratkan mencemarkan, menjatuhkan kehormatan, dan sebagai seorang akhwat manjaga ’iffah atau kehormatan itu wajib hukumnya.
Mubah hukumnya untuk berinteraksi dengan ikhwan dalam masalah ’ilmu, khawatir selama interaksi akhwat menceritakan sesuatu yang itu sudah di wilayah khas. Dan yang mubah hukumnya terkadang bisa menjerumuskan ke haram jika tidak pandai jaga diri. Tentu kita tidak mau melanggar hukum syara’ atas nama dakwah atau ilmu bukan?
Bagaimana dengan di forum situs atau milis-milis, itu juga khan berbagi ilmu? Menurut saya, forum situs itu sifatnya lebih ’amm dan di ketahui banyak orang, pembahasannya pun seputar perkara yang di bolehkan untuk akhwat yang bergabung di forum tersebut.
Berbeda dengan, misalnya seorang akhwat berbagi ilmu dengan seorang ikhwan, sesuai denga fakta yang pernah saya dapat, sifatnya personal hanya diketahui kedua belah pihak saja dan di sembuyikan dari orang lain sehingga mudah terjadi fitnah, siapa yang salah? Menurut saya, dua-duanya.
Sahabat Rasulullah Saw. Abu Bakar pernah berkata, "Berhati-hatilah dalam bertindak karena dari hati-hati tadi memberikan manfaat bagimu."
Sesuatu yang menurut kita masalah kecil, bisa dipandang sebagai masalah besar oleh orang lain, bahkan akan menimbulkan delik dan kecurigaan. Jadi, jangan main-main hukum syara’.
2.Hayatul khas
Hayatul khas atau kehidupan khusus adalah perkara seputar kehidupan privasi akhwat, dan ini hanya boleh di ketahui oleh keluarga ‘mahram’ dan jama’ah nisaa’ (perempuan) saja atau dalam hal akhwat yang bersangkutan sudah dalam ikatan khitbah.
Contoh hayatul khas adalah; keadaan dirinya dan keluarga secara detil, target hidup akhwat, target hidup dalam berdakwah serta kehidupan sehari-harinya.
Jika seorang akhwat menceritakan kehidupan dakwah, keluarga, target kehidupannya kedepan secara detail, menceritakan sifat yang lebih ke menceritakan dirinya sendiri secara detail, cita-cita dan kehidupannya sehari-harinya ke ikhwan yang belum mengkhitbahnya, yang saya pahami dari referensi nidzamul ijtima’i (afkar mutabanat Hizbut Tahrir yang wajib di ikuti oleh para aktivisnya), itu tidak boleh dilakukan. Artinya, ikhwan manapun tidak boleh mengetahui aktivitas akhwat dalam wilayah hayatul khas yang tidak ada hubungan dalam ikatan. Kenapa? Tiada lain adalah untuk menjaga ke’iffahan akhwat itu sendiri, penjagaan ‘iffah seorang akhwat dengan tetap menhijabi diri dengan hukum syara' walaupun terkadang ada saja dari pihak ikhwan yang belum paham dengan hal ini. Maka ketika ada seorang akhwat menghijabi diri, kadang disalahartikan, dibilang berpikiran sempit, jaim (jaga imej), jutek, terlalu tegas dan sebutan negatif lainnya.
Seorang ikhwan yang paham akan apa arti kehormatan bagi seorang akhwat pasti maklum, sikap tegasnya seorang akhwat tidak dia maknai sebagai sikap yang jaim, jutek, saklek atau apalah namanya.
Tegas bukan dalam makna terlalu memaksa agar pandangannya diterima. Tegas bukan dalam makna egois. Tegas bukan dalam makna menuntut. Tegas untuk mengoreksi pendapat yang tidak sesuai dengan hukum syara’ tidak dimaknai sebagai ‘intimidasi’, meminta sesuatu yang syar’i tidak di maknai dengan menuntut. Tapi seharusnya dimaknai sebagai ‘karakter akhwat yang khas’, ‘akhwat yang bisa menjaga kehormatannya’ dan seorang akhwat memangseharusnya seperti itu.
Konteksnya dalam hal ini sangat dibutuhkan ketegasan dari masing-masing
pihak. Ikhwan dan akhwat harus sama-sama menjaga ke ’iffahan masing-masing. Saya menganalisis dari hal yang kecil, ikhwan dan akhwat di larang mendekati perkara-perkara yang syubhat yang sangat mungkin menjerumuskan keduanya kepada kemaksiatan, karena Rasul Saw, sudah sangat menegaskan dan mewanti-wanti hal ini
dengan sabdanya;
”Sesungguhnya perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas; serta di antara keduanya terdapat perkara mutasyabihat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjahui syubhat itu,sungguh ia telah terbebas dari dosa, dalam agama dan kehormatannya. Sebaliknya, siapa yang terjerumus pada perkara syubhat berarti ia telah terjerumus dalam perkara haram,” (HR. Imam Bukhari, Muslim dan ashabun Sunan).
Wallahu’alam. Rabbanaghfirlanaa dzunuubanaa isyraafanaa fii amrina.
Penulis: Shinta Mardhiah Alhimjarry, Bandung
Hayatul ‘aam atau kehidupan umum bagi akhwat adalah seputar kehidupan yang menyangkut perkara pendidikan, mu’amalah, kesehatan. Hayatul ‘aam ini maknanya bagi akhwat, dia boleh bercerita tentang ketiga perkara tadi, selebihnya tidak boleh karena sudah menyangkut hayatul khas. Bagi ikhwan manapun hanya cukup untuk mengetahui ”hayatul ’aam”, kehidupan umumnya saja, seperti contoh diatas; pendidikan, tempat tinggal, hobi, aktivitas di lembaga dan lain-lain.
Sedangkan "hayatul khas", sudah sangat privasi sekali yang menyangkut kehidupan pribadi, seperti keadaan keluarga, dan keadaan dirinya. Bagi akhwat tidak boleh menceritakan hal-hal tadi kepada ajnaby (orang asing). Hayatul khas boleh di ceritakan dalam jika seorang akhwat telah di khitbah. Diperkenankan bagi dia untuk menceritakan ke ikhwan yang telah mengkhitbahnya sebagai pertimbangan untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
Dan ketika berinteraksi dengan lawan jenis, seorang akhwat sebaiknya bertindak dan berbicara seperlunya saja, tegas dan jelas tapi bukan bermakna kaku ketika berkomunikasi. Terkadang dalam dunia akhwat ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis, mungkin karena secara psikologis akhwat memiliki karater ingin di perhatikan atau malah kadang cari perhatian, ia mencari alasan agar bisa berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi kalau sudah menyangkut ’masalah hati’, mudah sekali terjadi pelanggaran, ditambah lagi jika ikhwannya juga belum mafhum bagaimana selayaknya berinteraksi dengan ikhwan di luar hal yang tidak seharusnya. Misal, diskusi, dengan kata lain, berinteraksi dengan ikhwan karena ’ilmu. Saya memandang hal seperti ini di bolehkan.
Tapi, ada beberapa hal yang memang harus si akhwat sendiri bisa menjaminnya, sesuai dengan perkataan Rasul Saw., "Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka bertindaklah sesuka kalian".
Pertama, fitnah. Bisa anda jamin selama interaksi tidak akan terjadi fitnah? Mungkin masih bisa di jelaskan, dengan perkataan "saya sama dia cuma teman, hanya sebatas berbagi ilmu ..." Tapi kalau saya sendiri akan mencari amannya saja, karena fitnah itu ibaratkan mencemarkan, menjatuhkan kehormatan, dan sebagai seorang akhwat manjaga ’iffah atau kehormatan itu wajib hukumnya.
Mubah hukumnya untuk berinteraksi dengan ikhwan dalam masalah ’ilmu, khawatir selama interaksi akhwat menceritakan sesuatu yang itu sudah di wilayah khas. Dan yang mubah hukumnya terkadang bisa menjerumuskan ke haram jika tidak pandai jaga diri. Tentu kita tidak mau melanggar hukum syara’ atas nama dakwah atau ilmu bukan?
Bagaimana dengan di forum situs atau milis-milis, itu juga khan berbagi ilmu? Menurut saya, forum situs itu sifatnya lebih ’amm dan di ketahui banyak orang, pembahasannya pun seputar perkara yang di bolehkan untuk akhwat yang bergabung di forum tersebut.
Berbeda dengan, misalnya seorang akhwat berbagi ilmu dengan seorang ikhwan, sesuai denga fakta yang pernah saya dapat, sifatnya personal hanya diketahui kedua belah pihak saja dan di sembuyikan dari orang lain sehingga mudah terjadi fitnah, siapa yang salah? Menurut saya, dua-duanya.
Sahabat Rasulullah Saw. Abu Bakar pernah berkata, "Berhati-hatilah dalam bertindak karena dari hati-hati tadi memberikan manfaat bagimu."
Sesuatu yang menurut kita masalah kecil, bisa dipandang sebagai masalah besar oleh orang lain, bahkan akan menimbulkan delik dan kecurigaan. Jadi, jangan main-main hukum syara’.
2.Hayatul khas
Hayatul khas atau kehidupan khusus adalah perkara seputar kehidupan privasi akhwat, dan ini hanya boleh di ketahui oleh keluarga ‘mahram’ dan jama’ah nisaa’ (perempuan) saja atau dalam hal akhwat yang bersangkutan sudah dalam ikatan khitbah.
Contoh hayatul khas adalah; keadaan dirinya dan keluarga secara detil, target hidup akhwat, target hidup dalam berdakwah serta kehidupan sehari-harinya.
Jika seorang akhwat menceritakan kehidupan dakwah, keluarga, target kehidupannya kedepan secara detail, menceritakan sifat yang lebih ke menceritakan dirinya sendiri secara detail, cita-cita dan kehidupannya sehari-harinya ke ikhwan yang belum mengkhitbahnya, yang saya pahami dari referensi nidzamul ijtima’i (afkar mutabanat Hizbut Tahrir yang wajib di ikuti oleh para aktivisnya), itu tidak boleh dilakukan. Artinya, ikhwan manapun tidak boleh mengetahui aktivitas akhwat dalam wilayah hayatul khas yang tidak ada hubungan dalam ikatan. Kenapa? Tiada lain adalah untuk menjaga ke’iffahan akhwat itu sendiri, penjagaan ‘iffah seorang akhwat dengan tetap menhijabi diri dengan hukum syara' walaupun terkadang ada saja dari pihak ikhwan yang belum paham dengan hal ini. Maka ketika ada seorang akhwat menghijabi diri, kadang disalahartikan, dibilang berpikiran sempit, jaim (jaga imej), jutek, terlalu tegas dan sebutan negatif lainnya.
Seorang ikhwan yang paham akan apa arti kehormatan bagi seorang akhwat pasti maklum, sikap tegasnya seorang akhwat tidak dia maknai sebagai sikap yang jaim, jutek, saklek atau apalah namanya.
Tegas bukan dalam makna terlalu memaksa agar pandangannya diterima. Tegas bukan dalam makna egois. Tegas bukan dalam makna menuntut. Tegas untuk mengoreksi pendapat yang tidak sesuai dengan hukum syara’ tidak dimaknai sebagai ‘intimidasi’, meminta sesuatu yang syar’i tidak di maknai dengan menuntut. Tapi seharusnya dimaknai sebagai ‘karakter akhwat yang khas’, ‘akhwat yang bisa menjaga kehormatannya’ dan seorang akhwat memangseharusnya seperti itu.
Konteksnya dalam hal ini sangat dibutuhkan ketegasan dari masing-masing
pihak. Ikhwan dan akhwat harus sama-sama menjaga ke ’iffahan masing-masing. Saya menganalisis dari hal yang kecil, ikhwan dan akhwat di larang mendekati perkara-perkara yang syubhat yang sangat mungkin menjerumuskan keduanya kepada kemaksiatan, karena Rasul Saw, sudah sangat menegaskan dan mewanti-wanti hal ini
dengan sabdanya;
”Sesungguhnya perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas; serta di antara keduanya terdapat perkara mutasyabihat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjahui syubhat itu,sungguh ia telah terbebas dari dosa, dalam agama dan kehormatannya. Sebaliknya, siapa yang terjerumus pada perkara syubhat berarti ia telah terjerumus dalam perkara haram,” (HR. Imam Bukhari, Muslim dan ashabun Sunan).
Wallahu’alam. Rabbanaghfirlanaa dzunuubanaa isyraafanaa fii amrina.
Penulis: Shinta Mardhiah Alhimjarry, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.