Oleh : M. Ridha
Assalamu'alaikum wr.wb.,
Dalam era globalisasi modern seperti zaman sekarang ini banyak anak-anak muda yang kritis terhadap agama mereka sendiri. Mereka tidak segan-segan mempertanyakan keimanan dan aturan-aturan dalam agama. Kalau kurikulum pendidikan agama yang mereka dapati di sekolah tidak mampu mengaddress masalah ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
Anak-anak muda ini menjadi ragu terhadap agama dan bila keragu-raguan ini lambat laun menumpuk, mereka tidak segan-segan mendeclarekan diri keluar dari agama atau bahkan mencela agama,
Mereka akan mencari sumber-sumber informasi dari luar sekolah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Informasi dari luar ini mungkin bisa memuaskan keingintahuan dalam pemahaman terhadap agama. Bisa jadi ini mengantarkan mereka kepada pemahaman agama yang benar, atau pemahaman agama yang salah yang dapat melahirkan sikap ekstrimisme dalam beragama, atau sebaliknya mungkin malah membuat mereka tambah ragu dan keluar dari agama.
Berdasarkan pengalaman saya sejak SD sampai SMA di tanah air dahulu, pelajaran-pelajaran agama di sekolah lebih bersifat kepada doktrin dan sangat sedikit (kalau bisa dibilang ada) yang membahas kerangka berpikir dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan terhadap masalah keimanan dan aturan-aturan agama.
Baru semasa kuliah S1 dulu, ketika saya tinggal dengan beberapa roomates non-Muslims, saya dihadapkan kepada banyak pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan dari pelajaran agama di sekolah di Indonesia. Kebetulan roomates saya dulu ada yang Kristen, ada yang atheist dan ada yang agnostic. Saya dihadapkan kepada pertanyaan mengenai masalah keimanan, baik dari si atheist ("Why do you believe in God that cannot be seen?", "Why do you believe in such God that creates evil in the world?", etc.), dari agnostic ("Why are you so sure that God sent down His revelation to us on this earth?", "Isn't possible God of all religions is infact an alien -UFO- that has more advanced technology than us who wants to control over us?", etc.), maupun dari Kristen ("Why are you not sure that you are going to heaven like us who accept Jesus died for our sin?", "Why do you believe in the Arabian Prophet who came 600 years later after Jesus?", etc).
Ada pula pertanyaan mengenai masalah tata cara ibadah yang diamati mereka ("Why do you have to wash 3-3 times?", "Why do you have to pray 5 times a day?", "Why do you have to face that way?", "Why do you have to say your prayer in Arabic?", "Why do you have to suffer not eating or drinking for many hours?", etc.).
Belum lagi kalau ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Middle East yang diberitakan di media massa. "Look, Muslims are killing innocent people again!", "Are Muslims not allowed to live peacefully with people of other faith?", "Aren't you somewhat embarrassed to profess this faith that has spilled so much blood in its history?", etc.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar seperti di atas tidak pernah terdengar di tanah air yang mayoritas penduduknya Muslims, sehingga tidak ada atau masih sedikit usaha dari pihak pengajar agama untuk meng-address-nya. Mungkin menurut banyak da'i di Indonesia, buat apa buang-buang waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh macam itu, masih banyak urusan umat yang real, yang harus diperbaiki.
Para da'i seharusnya siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sebelumnya tidak pernah keluar (atau tidak berani) ditanyakan oleh generasi-generasi zaman mereka. Mungkin dulu kita kalau bertanya mengenai banyak hal akan dicap "kafir" oleh ustadz kita, tapi di zaman sekarang, sudah banyak anak-anak yang sejak kecil (terutama yang dibesarkan di negaranegara barat) yang kritis dan tidak mau menerima begitu saja doktrin tanpa penjelasan yang masuk akal mereka. Dan saya rasa pertanyaan-pertanyaan macam ini cepat atau lambat akan keluar juga dari para generasi muda akibat era globalisasi di mana pertukaran informasi di bumi sudah terjadi dan tidak bisa dihindarkan lagi. Dan bila tidak ada yang care terhadap masalah ini, tidak mustahil tidak sedikit generasi muda yang bingung dan berpandangan liberal yang menghalalkan segala-galanya, atau berpandangan extrim yang mudah termakan emosi dan membuat konflik di masyarakat, atau bisa pula menjadi ragu dan keluar dari agama. Ini semua muncul akibat pemahaman agama yang salah.
Berdasarkan pengamatan saya, perasaan sensitif anak-anak muda terhadap agama ini bisa dipengaruhi pula oleh pandangan mereka terhadap tingkah laku orang-orang tua (terutama para ulama atau ustadz) yang mereka anggap merupakan contoh "ideal" dari orang-orang yang ahli agama. Ketika ada orang tua atau ulama yang melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, image agama orang tersebut turut menjadi buruk dalam pandangan mereka. Kekaguman mereka terhadap seorang ustadz misalnya berubah menjadi kebencian (bukan hanya terhadap sang ustadz tapi juga terhadap agamanya) setelah mengetahui "kekurangan" dari ustadz tersebut. Karena itu tidak aneh kalau ada anak muda yang KTPnya Islam berkomentar "Ah agama apaan tuh, ngajarinnya cuma kawin melulu!" atau "Ah, nggak usah capek-capek belajar Islam, tuh lihat orang ahli Islam aja tingkah lakunya seperti itu!" - akibat kecewa melihat "kemunafikan" orang-orang yang sebelumnya diidolakan. Mereka menilai suatu agama dari perbuatan pemeluk-pemeluknya, serupa dengan banyak orang di banyak negara yang menilai Islam sebagai agama yang buruk akibat melihat perbuatan buruk pemeluknya.
Atau bisa pula kekecewaan mereka timbul akibat melihat pertikaian yang tidak kunjung habis antara intern pemeluk agama sendiri, baik yang berbeda pandangan atau pun akibat banyaknya sekte-sekte di dalam Islam. Bagi banyak orang mungkin banyaknya paham-paham dalam Islam ini membuat mereka bingung sehingga feel frustrated dalam memahami perbedaan-perbedaan yang ada ini. "Islam yang mana?" menjadi pertanyaan yang tidak asing lagi di telinga kita.
Tiap-tiap pandangan yang berbeda sama-sama berusaha mendasarkan pandangannya dengan Qur'an maupun hadits Nabi. "Islam warna-warni", "Islam multi-interpretasi", "jangan mengklaim kebenaran sendiri", dll, juga sering terlontar secara apriori tanpa ada usaha melihat dan menganalisa setiap pandangan yang berbeda ini.
Ada baiknya kerangka dasar dalam berpikir atau berargumentasi yang benar dipahami oleh setiap Muslim terutama para generasi mudanya sehingga mereka dapat meresponse dengan baik argument-argumen yang banyak ditemui dalam pergolakan pemikiran (ghazwul fikr) baik dari kalangan internal (paham liberalism, extremism, sectarians, dll) dan kalangan external (atheism, orientalism, missionaries, Islamophobic, dll).
Sebenarnya para ulama sejak dulu dalam membahas masalah-masalah agama, baik itu dalam hal ushul fiqh, ibadah, aqidah, maupun muamalah, selalu menggunakan metode-metode maupun kerangka berpikir yang bisa dijumpai dalam kitab-kitab mereka. Sayangnya saya amati cara berpikir seperti ini kini sering hilang dalam argument-argument orang Islam ketika meresponse pendapat yang berbeda, yang sering kali lebih terasa nada emosionalnya daripada bobot argumentnya.
Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam berargumentasi (fallacy). Beberapa contoh fallacy ini antara lain:
"Inconsistent": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad, atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?
Contoh lainnya adalah sikap misionaris yang ketika menghujat Nabi SAW dengan leluasa menggunakan cuplikan-cuplikan hadits dan sirah sesukanya (Nabi berpoligami, kisah-kisah dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang menunjukkan tanda-tanda kenabian Nabi seperti mu'jizat-mu'jizat beliau, mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?
Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada kenyataannya jelas-jelas berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua interpretasi atau tafsiran agama adalah sah-sah saja dan benar adanya karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh orang-orang tak berdosa, atau pendapat-pendapat yang menghalalkan sex bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda, yang satu bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua-duanya? Kalau kita mau jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas menolaknya.
"Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang-orang non-Muslim." Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata-kata, context maupun historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan ayat tsb seharusnya tahu ada ayat-ayat Al Qur'an lain yang menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan yang partial terhadap hal-hal ini akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.
"Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang Islam diperintahkan membunuh orang-orang musyrik di mana saja mereka jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tsb sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan orang-orang kafir Quraisy serta sekutu-sekutu mereka yang memerangi umat Islam saat itu).
"Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris karena di antara pemeluk-pemeluknya tidak sedikit melakukan aksi terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang jelas-jelas melarang aksi terorisme. Apakah orang-orang Kristen di barat rela kalau agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena perlakuan sebagian kelompok mereka terhadap bangsa-bangsa di dunia?
"Double-standard": Si A yang beragama Kristen bilang "Islam adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Seharusnya si A tahu bahwa Nabi-nabi yang diakui dalam agamanya sendiri berpoligami. Atau si B yang mengutuk pembunuhan orang-orang tak bersalah sebagai perbuatan terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan standard yang sama, pembunuhan orang-orang tak bersalah akan selalu dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa pelakunya.
"Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya (biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki-laki". Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki-laki adalah pelindung/pemimpin kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih rendah dari status laki-laki karena masing-masing memiliki role yang berbeda dalam pandangan Allah SWT.
"Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya, ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam Bible, bukannya menjawab pertanyaan tsb, si A malah membawa tuduhan banyaknya kontradiksi di dalam Qur'an.
"Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si professor yang disebutnya tadi.
"Ad-hominem" (argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument. Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan diserang orangnya.
etc.
Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan masalah-masalah agama, tapi juga masalah-masalah dalam hidup lainnya. Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan orang-orang non-Muslim orang-orang Islam tidak memahami framework ini. Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga diskusi-diskusi maupun debatdebat dalam memahami agama dapat berjalan dengan baik, dengan menganalisa argument masing-masing pihak yang berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.
Wallahu'alam.
Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Minggu, 05 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.