Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Sabtu, 21 April 2012

Senyum Rasulullah



Rasulullah adalah orang yang paling fasih berbicara dan paling indah perkataannya. Beliau berkata, "Aku adalah orang arab yang paling fasih". Para penghuni surga berbicara dengan bahasa yang digunakan nabi, yaitu bahasa Arab. Perkataanya mengandung makna luas namun penggalan katanya tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Yang mendengarkannya dapat memahami dan menghafal dengan mudah karena antara kata yang satu dengan yang lainnya terkait.

Beliau tidak berbicara, baik saat senang maupun marah, kecuali yang dibicarakannya itu benar. Beliau adalah orang yang paling banyak tersenyum dan paling gembira hatinya, selama bukan pada waktu turunnya wahyu, saat menyebut hari kiamat atau saat berkhotbah memberikan nasihat.
Suatu hari seorang badui datang dengan maksud bertanya kepada beliau pada saat beliau sedang memikirkan sesuatu. Namun para sahabat mencegahnya seraya berkata, "Wahai orang badui, jangan engkau lakukan, kami melihat Nabi sedang memikirkan sesuatu."

Tapi orang badui itu berkata, "BIarkan saya, demi Zat yang telah mengutusnya dengan membawa kebenaran sebagai Nabi, saya tidak akan membiarkannya dalam kondisi seperti itu, saya akan membuatnya tersenyum."

Lalu orang badui itu bertanya, "Wahai Rasulullah informasi yang sampai kepada kami bahwa al-masih (Dajjal) akan datang kepada manusia dengan membawa tsarid (bubur), tapi mereka semua binasa karena kelaparan. Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, menurutmu apakah aku harus menolak buburnya demi memelihara diri dari yang tidak halal hingga aku mati kurus? Ataukah aku makan buburnya hingga kenyang namun tetap beriman kepada Allah dan mengingkari Dajjal"

Mendengar pertanyaan itu, Nabi tertawa hingga nampak gigi gerahamnya. Lalu beliau berkata, "Jangan kau makan, Allah akan mencukupi kebutuhanmu sebagaimana ia mencukupi kebutuhan kaum mukmin."

-dari Ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali-

Oleh Ashif Aminulloh Fathnan

Selasa, 17 April 2012

Jika Suatu Saat Nanti Kau Jadi Ibu




Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, ketahuilah bahwa telah lama umat menantikan ibu yang mampu melahirkan pahlawan seperti Khalid bin Walid. Agar kaulah yang mampu menjawab pertanyaan Anis Matta dalam Mencari Pahlawan Indonesia: “Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?”

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Asma’ binti Abu Bakar yang menjadi inspirasi dan mengobarkan motivasi anaknya untuk terus berjuang melawan kezaliman. “Isy kariman au mut syahiidan! (Hiduplah mulia, atau mati syahid!),” kata Asma’ kepada Abdullah bin Zubair. Maka Ibnu Zubair pun terus bertahan dari gempuran Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, ia kokoh mempertahankan keimanan dan kemuliaan tanpa mau tunduk kepada kezaliman. Hingga akhirnya Ibnu Zubair syahid. Namanya abadi dalam sejarah syuhada’ dan kata-kata Asma’ abadi hingga kini.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya. Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain. Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya. Seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya: “Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, amin!”. Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi’i.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman. Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu. “Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak. “Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram…”, sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan. Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani. Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama Abdurrahman As-Sudais.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses. Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu. Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu. Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri. Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor. Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia. Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.

oleh: Muchlisin

sumber: Salimah (zafaran/muslimahzone.com)
Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...