Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Senin, 31 Januari 2011

Mencari Cinta Sejati

1. Pendahuluan

Cinta adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi di kalangan remaja, karena sudah menjadi anggapan umum bahwa cinta identik dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan saking indahnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan dll. Bahkan Jalaludin Rumi menggambarkan saking indahnya cinta, setan pun berubah menjadi bidadari. Yang jelas karena cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun sebaliknya karena cinta banyak pula orang yang dibuat tersiksa dan merana. Cinta dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan seseorang menjadi sangat tercela.

Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan baygon hanya karena cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.

Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah sepenggal kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”

Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan perbuatan.

2. Pandangan Islam terhadap Cinta

Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).

Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta, karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan) dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)

Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/ diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:



Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul ‘alamiin.”

“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)

Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu” atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari Allah (S. 2: 165).



Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.

“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)



Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, antar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.



Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.



Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.



Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).



3. Hubungan Cinta dan Keimanan

Dalam Islam cinta dan keimanan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Cinta yang dilandasi iman akan membawa seseorang kepada kemuliaan sebaliknya cinta yang tidak dilandasi iman akan menjatuhkan seseorang ke jurang kehinaan. Cinta dan keimanan laksana dua sayap burung. Al Ustadz Imam Hasan Al Banna mengatakan bahwa “dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan.” Bagaimana tidak, jikalau iman tanpa cinta akan pincang, dan cinta tanpa iman akan jatuh ke jurang kehinaan. Selain itu iman tidak akan terasa lezat tanpa cinta dan sebaliknya cinta pun tak lezat tanpa iman.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw:
“Barang siapa ingin memperoleh kelezatan iman, hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah swt.” (riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah).

Tidak heran ketika ‘Uqbah bin Al Harits telah bercerai dnegan istri yang sangat dicintainya Ummu Yahya, atas persetujuan Rasulullah saw hanya karena pengakuan seorang wanita tua bahwa ia telah menyusukan pasangan suami istri itu di saat mereka masih bayi. Allah mengharamkan pernikahan saudara sesusuan. Demikian pula kecintaan Abdullah bin Abu Bakar kepada istrinya, yang terkenal kecantikannya, keluhuran budinya dan keagungan akhlaknya. Ketika ayahnya mengamati bahwa kecintaannya tersebut telah melalaikan Abdullah dalam berjihad di jalan Allah dan memerintahkan untuk menceraikan istrinya tsb. Pemuda Abdullah memandang perintah tsb dengan kaca mata iman, sehingga dia rela menceraikan belahan jiwanya tsb demi mempererat kembali cintanya kepada Allah.

Subhanallah, pasangan tsb telah bersatu karena Allah, saling mencinta karena Allah, bahkan telah bercinta karena Allah, namun mereka juga rela berpisah karena Allah. Cinta kepada Allah di atas segalanya. Bagaimana halnya dengan pasangan yang terlanjur jatuh cinta, atau yang ‘berpacaran’ atau sudah bercinta sebelum menikah? Hanya ada dua jalan; bersegeralah menikah atau berpisah karena Allah, niscaya akan terasa lezat dan manisnya iman. Dan janganlah mencintai ‘si dia’ lebih dari pada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dari Anas ra, dari nabi saw, beliau bersabda:
“Ada tiga hal dimana orang yang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi segala-galanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan enggan untuk menjadi kafir setelah diselamatkan Allah daripadanya sebagaimana enggannya kalau dilempar ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah ra, rasulullah saw bersabda:
“Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai….” (HR Muslim)

4. Cinta Kepada Allah, Itulah yang Hakiki

Cinta bagaikan lautan, sungguh luas dan indah. Ketika kita tersentuh tepinya yang sejuk, ia mengundang untuk melangkah lebih jauh ke tangah, yang penuh tantangan, hempasan dan gelombang dan siapa saja ingin mengarunginya. Namun carilah cinta yang sejati, di lautan cinta berbiduk ‘taqwa’ berlayarkan ‘iman’ yang dapat melawan gelombang syaithan dan hempasan nafsu, insya Allah kita akan sampai kepada tujuan yaitu: cinta kepada Allah, itulah yang hakiki, yang kekal selamanya. Adapun cinta kepada makhluk-Nya, pilihlah cinta yang hanya berlandaskan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan karena bujuk rayu setan, bukan pula karena desakan nafsu yang menggoda.

Cintailah Allah, berusahalah untuk menggapai cinta-Nya. Menurut Ibnu Qayyim, ada 10 hal yang menyebabkan orang mencintai Allah swt:

Membaca Al-Qur’an dan memahaminya dengan baik.
Mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat sunat sesudah shalat wajib.
Selalu menyebut dan berzikir dalam segala kondisi dengan hati, lisan dan perbuatan.
Mengutamakan kehendak Allah di saat berbenturan dengan kehendak hawa nafsu.
Menanamkan dalam hati asma’ dan sifat-sifatnya dan memahami makna.
Memperhatikan karunia dan kebaikan Allah kepada kita.
Menundukkan hati dan diri ke haribaan Allah.
Menyendiri bermunajat dan membaca kitab sucinya di waktu malam saat orang lelap tidur.
Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang soleh, mengambil hikmah dan ilmu dari mereka
Menjauhkan sebab-sebab yang dapat menjauhkan kita daripada Allah.

5. Penutup

Saling mencintailah karena Allah agar bisa mendapatkan kecintaan Allah. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:

“Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling berkorban karena-Ku, dan Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan karena-Ku.”

Hiduplah di bawah naungan cinta dan saling mencintailah karena keagungan-Nya, niscaya akan mendapatkan naungan Allah, yang pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:

“Pada hari kiamat Allah berfirman: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku ini, Aku menaungi mereka dengan naungan-Ku.” (HR. Muslim).

Bahkan Allah memuliakan mereka yang saling mencintai dan bersahabat karena Allah, yang membuat para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka mereka. Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda:

“Di sekeliling ‘Arsy, terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh suatu kaum yang berpakaian dan berwajah cahaya pula. Mereka bukanlah para nabi atau syuhada, tetapi para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahulah kami tentang mereka!” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan saling mengunjungi karena Allah.”

“Ya Allah, kurniakanlah kepada kami Cinta terhadap-Mu dan Cinta kepada mereka yang mencintai-Mu, dan apa saja yang mendekatkan kami kepada Cinta-Mu, dan jadikanlah Cinta-Mu itu lebih berharga bagi kami daripada air yang sejuk bagi orang yang dahaga.”

Akhirul qalam, tanyailah diri kita masing-masing:
sudahkah aku menemukan cinta yang hakiki, cinta yang sejati dalam hidup ini?
Sejauh mana aku mengenal-Nya, asma’ (nama)-Nya, sifat-sifat-Nya, kehendak-Nya, larangan-Nya?
Seringkah aku mengingat-Nya, menyebut nama-Nya melalui zikir-zikir yang panjang?
Seringkah aku mendekatkan diri kepada-Nya dengan sholat serta ibadah-ibadah lainnya?
Seringkah aku merintih, mengadu dan mengharap kepada-Nya melalui untaian doa yang keluar dari lubuk hati?
Sudahkah aku mengikuti kehendak-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya?
Apakah aku mencintai seseorang karena-Nya atau karena doringan nafsuku sendiri?
Sejauh mana aku berusaha untuk mengekang hawa nafsuku sendiri?

Wallahu alam bishshawab.

Gunma, 2 Agustus 2002
Oleh: Ir. Munasri Hadini MSc.
Disampaikan dalam Dauroh Muslimah KAMMI-JP
4 Agustus 2002, Komaba, Tokyo


sumber : kafemuslimah.com

Cobalah Mencintainya

Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan…

Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.

Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.

Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.

Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?

Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?

Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa’? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.

Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat ‘kan? Kita? Manusia yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari pembuat cinta? Cck… ckk… Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah menolak dan menjauh? Wah… wah… betapa bodohnya ...

Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.

Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?

al Birru
emine_mm@maktoob.com


sumber : eramuslim

Cinta Sebatas Harta

Perempuan setengah tua itu segera membuka pintu rumahnya dengan seonggok senyuman, menyambutku. “Anak-anak sedang keluar. Bapaknya lagi kerja! Ayo masuk....” ungkapnya ketika saya tanyakan kemana suami dan anak-anaknya. Sambil mempersilahkan saya duduk di sofa tuanya, sekilas terlihat kedua bola matanya berkaca-kaca setelah menerima sebuah jilbab putih, kado kecil saya kepadanya. Seolah sedang mencoba mengingat kejadian masa lalu.

“Siapa yang tidak menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan falsafah untuk berdoa seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta seolah-olah kita hidup selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh keluarga yang kurang mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan anak-anak saya, tidak mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita seorang perempuan yang tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai persaudaraan? Merasa dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana batin tersendiri. Betapa lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan cinta saudara. Rasulullah SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan kedalam golongan orang-orang beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan cinta persaudaraan dan harta yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini ternyata erat sekali? Bahwa hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula cintanya”.

“Dua puluh tahun lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu institusi pemerintah. Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah. Jangankan mendirikan sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur. Dua anak kami yang terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan membutuhkan pendidikan yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan generasi mereka. Yang pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua, perempuan, di sekolah menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya pas-pasan saja. Adakah saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur? Wallahu’alam!”

“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas penderitaan orang lain.”

“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah SWT menjawab doa-doa saya. Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya untuk pergi haji atas beaya dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti di luar tanggungan negara, untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan karunia yang amat besar. Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah ungkapan rasa syukur saya kehadiratNya.”

“Mendiang ayah saya, keturunan Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa kami. Beliau tergolong keras dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah saya lainnya, paman dan tante, yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman, yang bahkan beberapa orang menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau hanyalah menjahit. Sementara ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya yang delapan orang. Sekolah saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya boleh dikata tidak memiliki apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang anak perempuan yang harus patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap niat mulia pernikahan, walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang sesudah pernikahan. Saya pikir permasalahannya hanyalah waktu.”

“Itulah kenangan 20 tahun silam sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak kami meninggalkan kami untuk selamanya.”

“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami dengan seluruh keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa saja. Artinya kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun juga tidak bisa dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan tetangga di dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan kantor suami saya.”

“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami ke luar negeri, ketika keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi, hubungan kami mulai berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun suami, juga rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini terjadi tanpa harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu, pujian, dan kadang-kadang ‘sindiran’.”

“Terus terang secara materi kami pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala kebutuhannya jadi tercukupi. Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana transportasi ada, barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga kebutuhan sekunder lain pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti kebanyakan orang lain, mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan kami bisa membeli sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya cukup lumayan buat ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang strategis. Siapapun yang lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah, betapa besar karunia yang Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya ya Allah!”

“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya, satu-demi-satu ujian kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas kami. Saya, seorang istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak kuat mendengar sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami dienakkan. Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang gratis. Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa mengambil keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran suami. Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal, subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk ‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”

“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami, dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri. “Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja. Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”

“Padahal kontrak kerja di Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang sedang dibangun masih tujuh puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung. Padahal aku juga ingin naik haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati rumah dinas. Padahal usia suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar tanggungan negara masih dua tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan suami saya untuk tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri. “Barangkali sudah suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan yang ada.”

“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya tidak lagi sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun terakhir suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali. Haru karena sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa yang sedang menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa melihat saya sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini mengguncang batin saya.”

“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat segera kerja lagi dan memperoleh gaji seperti semula ternyata meleset. Semula kami mengira, dengan sedikit tabungan yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai pegawai negeri akan cukup bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolahnya anak-anak. Nyatanya....suami saya harus pulang balik Jakarta-Malang berkali-kali untuk mengurusi ketidakberesan administrasi yang ada, yang membuat status kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa bekerja lagi secara otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah berlalu, dan status kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak kami sedang kuliah. Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi suami yang demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa memenuhinya?”

“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah dan melunasi beaya kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari kami terpaksa, harus menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami di luar negeri. Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga investasi kami yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik kami.”

“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau mendekati kami? Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok keadaan kami. Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu rumah tanpa diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka tidak ada lagi beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta yang tidak lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini hanya sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”

“Sesudah berjuang selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya mendapatkan kembali hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi, tanpa jabatan seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”

“Satu tahun lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini keadaannya. Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak semua orang kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup. Cinta dan persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus meninggalkan rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat lagi. Saya tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami masih harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan membantu kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”

Kedua bola mata perempuan setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya berpamitan. “Nanti akan saya sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil menggenggam jilbab putih, mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah dinas yang mulai nampak keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba mengingat kejadian masa lalu penghuninya.

sumber : eramuslim

Cinta versus "Cinta"


"Eee... itu kan cucuku? Waduh sudah besar, mana cantik lagi!" seru seorang nenek bangga campur terkejut, melihat sang Cucu tampil modis di layar kaca. Perempuan yang disanjung si nenek berdandan ala wanita karir metropolitan. Stelan rok dengan atasan model jas. Saking sukacitanya, si nenek spontan memanggil semua penghuni rumah untuk menyaksikan buah hatinya yang nampak "matang" penampilannya.

Paparan kisah di atas, merupakan potongan iklan sebuah bank yang mungkin cukup sering kita saksikan di layar televisi. Tayangan iklan itu menyajikan luapan ekspresi cinta seorang nenek demi menyaksikan cucunya telah menjadi "orang". Karena itu untuk bisa mengantarkan buah cinta kita bisa jadi "orang", pesan itu selanjutnya, tanamkanlah uang kita di bank.

Kita, insya Allah, sama faham apa yang dimaksud "menjadi orang". Seperti tayangan potongan iklan di atas, "menjadi orang" selalu berkonotasi pada kesuksesan dunia. Dengan kata lain, jangan buru-buru mengklaim diri telah berhasil alias "jadi orang" kalau belum mampu meraih "3 Ta" paling tidak. Tahta, Wanita, dan Toyota.

Terus terang, bagi kita yang hidup di era kiwari, idiom ini terkesan membawa beban amat berat. Bayangkan, untuk bisa jadi "orang", kita kudu bisa meraih segepok keberhasilan. Entah itu harus berhasil meraih jabatan atau kekuasaan. Entah berhasil dalam suatu profesi.

Pendek kata yang dimaksud "jadi orang" tak lain tak bukan, sukses meraih materi. Tak heran, promosi bank-bank yang amat bombastis juga menjual janji: "Anda ingin sukses, raihlah hadiah bernilai milyaran rupiah dari kami." Sekolah-sekolah, kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga kursus pun mempromosikan diri dengan janji-janji muluk "sukses masa depan".

Mahal memang harga sebuah sukses, harga untuk menjadi "orang". Boleh jadi premis yang cukup kuat mengkooptasi pikiran masyarakat kita ini, menyebabkan banyak anak muda yang ngeper duluan untuk melamar seorang gadis. Apalagi bila si gadis telah lebih dulu meraih sukses. Celakanya, tak sedikit orangtua juga mematok harga tinggi untuk anak-anak gadisnya, lantaran termakan premis itu.

Eksesnya? Tentu ada. Mereka akhirnya lebih senang berfantasi jadi orang "sukses" dan berkhayal telah hidup berdua dengan pasangannya. Dicarilah saluran-saluran untuk fantasinya yang liar itu. Dan celakanya, saluran untuk pelampiasan fantasi liarnya begitu banyak bertebaran. Ada VCD esek-esek. Ada situs-situs cabul yang bisa dinikmati dengan murah di warnet-warnet. Ada film-film tivi maupun tabloid yang menjual syahwat. Atau apa saja yang bisa melampiaskan fantasi seksualnya.

Ekses lainnya, mungkin saja untuk bisa meraih sukses dengan mudah, banyak orang yang menempuh jalan pintas. Sangat boleh jadi, kasus-kasus korupsi yang kian marak, akibat banyak manusia dilanda penyakit "harta maniac".

Kita tentu bukan ingin menafikan bahwa manusia pasti cinta pada harta, wanita, dan kekuasaan. Itu hal yang fitri, sebagaimana Alquran juga mengisyaratkan. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah)" (QS 3:14).

Cinta kepada lawan jenis, keturunan, harta, perhiasan, kendaraan, atau tabungan uang untuk persiapan masa depan anak, tidak pernah dilarang oleh Islam. Selama cinta kepada semua itu, tidak mengalihkan kewajiban manusia untuk beribadah dan taat kepada Allah swt.

Mencintai anak adalah wajib. Karena ia merupakan amanah Allah yang mesti dijaga. Penjagaan di sini tentunya memelihara anak dari hal-hal yang akan menjatuhkannya pada murka Allah. Dengan begitu, cinta kepada anak sesungguhnya menuntut orangtua berupaya keras memelihara dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang taat kepadaNya hingga akhir hayat. Dan itulah sesungguhnya yang dikehendaki Allah terhadap amanah (anak) yang dipercayakan pada setiap orangtua.

Tentang tanggungjawab menjaga anak, Allah mengabadikan kisah keluarga Luqman di dalam Alquran, agar bisa menjadi pedoman bagi tiap keluarga Muslim. "(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu) perbuatan seberat atom, dan berada dalam batu atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku tegakkanlah salat dan perintahkanlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlan (mereka) dari perbuatan yang mungkar. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS 31:16-19)

Begitu sarat pesan Luqman pada anaknya, agar kelak anaknya menjadi "orang". Cobalah kita simak kandungan ayat di atas, adakah pesan itu mengarahkan anak agar kelak menjadi orang yang getol mengejar materi?

Kita yakin, Luqman bukan sosok sembarangan hingga Allah perlu mengukir kisah pengajaran Luqman kepada anaknya di dalam Al quran suci. Ia (Luqman) sesungguhnya tipikal ayah yang amat sangat mencintai anaknya. Karena itu Luqman mengarahkan anaknya untuk tetap istiqomah berada pada garis titahNya.Lantaran ia faham betul, sukses dunia tak ada artinya sama sekali bila hal itu akan mendatangkan murka Allah. Sukses di dunia tapi sengsara selamanya di akhirat, bukanlah pola pengajaran yang diterapkan Luqman pada keluarganya. Itulah cinta hakiki yang telah dipersembahkan Luqman pada isteri dan keturunannya.

Adakah kita pernah memahami makna cinta sesungguhnya kepada anak? Adakah kita pernah terobsesi untuk bisa mengikuti jejak pelajaran keluarga Luqman? Kitalah yang bisa menjawabnya dengan jujur.

Terus terang, kini tak sedikit orang terobsesi untuk menjadi "orang" alias sukses. Pikiran-pikiran itupun diparalelkan pada keturunan. Bayangan ketakutan bila anak tak bisa berhasil jadi orang, boleh jadi menyebabkan banyak orangtua yang rela mengeluarkan dana besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jangan heran bila sekolah-sekolah plus yang konon menjanjikan masa depan ceria, full diantri orangtua saban tahun.

Bahkan bukan hanya itu, untuk melengkapi modal masa depan, anak jika perlu diikutkan segala kursus. Entah kursus piano, kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus tari, senam, les privat, dan entah apa lagi. Walaupun biayanya besar, sebisa-bisanya diusahakan.

Sehingga ada kisah ironis. Sebuah keluarga Muslim di komplek perumahan A (sebut saja begitu), untuk mengkursuskan komputer dan les privat matematik anaknya, walau bayar Rp 100.000 per bulan enggak masalah. Tapi si ibu pernah ngomel-ngomel lantaran iuran infaq TPA anaknya dinaikkan oleh pihak TPA menjadi Rp 10.000. "Uuu mahal betul sih!" serunya ketus.

Wajar saja barangkali, banyak TPA yang gulung tikar, atau minimal hidupnya kembang-kempis. Lantaran sarana yang digunakan untuk belajar anak-anak apa adanya. Bayaran buat para pengajarnya pun pas-pasan. Akhirnya saya baru sadar, Kepala Sekolah TPA dekat rumah saya pernah mengeluh, lantaran banyak santri-santrinya yang nunggak bayaran sampai 2-3 bulan. Astaghfirullah!

Cinta kepada anak harus. Tapi cinta kepada Allah tentu lebih dari sekedar harus. Ia merupakan kewajiban. Cinta kepada anak, pada hakikatnya merupakan aktualisasi cinta kita kepada Allah. Artinya? Anak itu harus kita pelihara sungguh-sungguh agar betul-betul menjadi orang sebagaimana yang dikehendaki Penciptanya. Agar Allah cinta kepadanya, dan diapun mencintai Allah.

Betapa sedih bila kita mendengar kisah-kisah orangtua yang gembar-gembor bahwa mereka sangat mencintai anak-anak mereka. Tapi pada kenyataannya mereka tidak pernah mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi insan yang dicintai Allah. Bahkan tak sedikit orang tua yang malah terobsesi kelak dapat menyaksikan anak-anak mereka menjadi orang terkenal. Bisa menjadi artis, menjadi pramugari, atau entah menjadi apa saja dalam dunia selebritis. Astagfirullah! Mudah-mudahan kita tidak terjebak pada dunia glamour yang penuh tipuan mematikan itu.

Karena itu sadarilah, cinta sejati selalu saja akan direcoki oleh cinta palsu. (sultoni)

sumber : eramuslim

Cinta Tak Berbalas

Kadang saya iri melihat orang-orang di sekeliling saya, disayangi oleh “seseorang”. Apalagi di bulan Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Saya memang penganut “tiada pacaran sebelum akad”, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin diperhatikan secara istimewa.

Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor Garden banget! He..he...)

Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah. Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak kotor hati?

Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan “sayang” betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...

Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak menyadari...

Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya sih kira-kira begitulah)

Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau, mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba, mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat maksiat, dosa... Malu...

Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!

Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.

Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...

Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau “pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana, tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?

Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional. Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)


sumber : kafemuslimah.com

Cinta Palsu, Do’a Tak Terijabah

Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).

Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni.

Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.

Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.

Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.

Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah.

Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.

Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.

Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..

Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.

Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan

Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman…

Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu:

Iman yang kuat
Ikhlas dalam beramal
Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.


Kiriman : Rahmi Surya Dewi
dewi.rs@pasca.unpad.ac.id



sumber : eramuslim

Cinta Menurut Pandangan Islam (artikel dari Malaysia)

Muqaddimah

“..Ya Allah Engkau Tuhanku.. Tiada tuhan melainkan Engkau.. Engkau cinta agungku.. Nabi Muhammad pesuruhMu..”

Bait-bait nasyid kumpulan Quturunnada di atas sering mengingatkan kita kepada hakikat cinta yang sebenar. Bagi saya sendiri, makna serta irama yang dibawa oleh Qutrunnada ini benar-benar menyentuh jiwa apatah lagi di tengah-tengah kemarakan irama nasyid ala-KRU yang mewarnai dunia nasyid pada masa sekarang.

Berbicara mengenai cinta, tentunya tidak akan lepas dari perbincangan kita tentang cinta monyet yang menghiasai dunia muda-mudi sekarang ini. Malah, tidak keterlaluan untuk dinyatakan, itulah pespektif masyarakat terhadap cinta. Padahal cinta seperti inilah yang sering mendorong pelakunya ke arah melakukan maksiat kepada Allah SWT. Sekotor itukah cinta?

Apakah cinta itu sebenarnya? Cinta sebenarnya merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari fitrah manusia. Tanpa nilai cinta yang berdefinisi sebagai cetusan rasa dari orbit naluri ke arah mengenali satu objek dengan penghayatan hakikat dan kewujudannya akan membantutkan tumbesar manusia[sic!].

Kesenian cinta yang didasari runtutan fitrah tanpa dikotori oleh hawa syahwat merupakan lambang kedamaian, keamanan dan ketenangan. Namun cinta seringkali diperalatkan untuk melangsai keghairahan nafsu dan kebejatan iblis laknatullah. Demi kemakmuran manusia sejagat, kita mesti menangani fenomena cinta dengan nilai fikrah yang suci dan iman yang komited kepada Allah. Permasalahan cinta antara yang dihadapi secara serius oleh umat Islam hari ini. Pergesekan antara cinta hakiki dan cinta palsu menyebabkan umat Islam menghadapi dilema perasaan yang kronik. Krisis cinta palsu telah memapah umat Islam ke medan pergesekan yang memusnahkan etika spritual dan membunuh solidariti serta menodai sosial.

Individu mukmin sewajarnya peka terhadap kehadiran cinta di dalam jiwa. Cinta yang berdasarkan nafsu dan syahwat semata-mata hanyalah cinta palsu yang penuh jijik dan dihina. Menyadari hakikat ini, saya mencuba untuk mengberanikan diri bercerita soal cinta secara ringkas menurut pandangan Islam. Apatah lagi dalam suasana masyarakat remaja khususnya tertipu dengan propaganda 14 Februari yang kononnya ialah hari Kekasih (Indonesia: hari kasih sayang. ed). Maka sibuklah dunia berbicara soal cinta yang lebih menjurus kepada cinta karut-marut yang bertemakan mainan perasaan yang sama sekali terseleweng dari kehendak Islam.

Semoga Allah memberikan ganjaran terhadap usaha yang kecil ini dalam membersihkan jiwa pemuda-pemuda dari sebarang permainan perasaan yang hanya akan menyesatkan fikiran. Apakah Kedudukan Cinta Di Dalam Islam? Adakah Islam memusuhi cinta? Adakah sebegini kejam sebuah agama yang disifatkan menepati fitrah? Sebenarnya tidak. Malah Islam memandang tinggi persoalan cinta yang tentunya merupakan perasaan dan fitrah yang menjiwai naluri setiap manusia. Namun, cinta di dalam Islam perlulah melalui pelbagai peringkat keutamaannya yang tersendiri :

1. Cinta kepada Allah
Islam meletakkan cinta yang tertinggi dalam kehiudupan manusia ialah cinta kepada Allah. Ketinggian nilai taqarrub Al-Abid kepada Khaliq dapat dilihat melalui cinta murni mereka kepada Pencipta. Tanpa cinta kepada Allah perlakuan hamba tidak memberi balasan yang bererti sedangkan apa yang menjadi pondasi dalam Islam ialah mengenali dan menyintai Allah.

Sinaran cinta itu jua yang akan mendorong hamba bertindak ikhlas di mihrab pengabdian diri kepada Allah serta menghasilkan cahaya iman yang mantap. Firman Allah SWT :

“..(Walaupun demikian), ada juga di antara manusia yang mengambil selain dari Allah (untuk menjadi) sekutu-sekutu (Allah), mereka mencintainya, (memuja dan mentaatinya) sebagaimana mereka mencintai Allah; sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah...” (Surah Al-Baqarah ayat : 165)

Memiliki cinta Allah seharusnya menjadi kebanggaan individu mukmin lantaran keagungan nilai dan ketulusan ihsan-Nya.Namun menjadi suatu kesukaran untuk meraih cinta Allah tanpa pengabdian yang menjurus tepat kepada-Nya. Cinta Allah umpama satu anugerah yang tertinggi dan tidak mungkin siapa pun dapat memilikinya kecuali didahulukan dengan pengorbanan yang mahal. Cinta Allah adalah syarat yang utama untuk meletakkan diri di dalam barisan pejuang-pejuang kalimah Allah SWT. Firman Allah SWT (yang bermaksud) :

“..Wahai orang-orang yang beriman! Sesiapa di antara kamu berpaling tadah dari ugamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Ia kasihkan mereka dan mereka juga kasihkan Dia; mereka pula bersifat lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan berlaku tegas gagah terhadap orang-orang kafir...” (Surah Al-Maidah, ayat 54)


2. Cinta Kepada Rasulullah SAW dan para anbiya’
Apabila manusia berada di dalam kegelapan yang begitu kelam, maka diutuskan pembawa obor yang begitu terang untuk disuluhkan kepada manusia ke arah jalan kebenaran. Sayang, pembawa obor tersebut terpaksa begelumang dengan lumpur yang begitu tebal dan menahan cacian yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugas yang begitu mulia.

Pembawa obor tersebut ialah Rasulullah SAW. Maka adalah menjadi satu kewajipan kepada setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim memberikan cintanya kepada Rasulullah dan para ambiya’. Kerana kecintaan inilah, para sahabat sanggup bergadai nyawa menjadikan tubuh masing-masing sebagai perisai demi mempertahankan Rasulullah SAW. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebut :

Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dengan perkara itulah dia akan memperolehi kemanisan iman: Seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, mencintai seorang hanya kerana Allah, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia juga tidak suka dicampakkan ke dalam Neraka. (Bukhari : no. 15, Muslim : no. 60, Tirmizi : no. 2548 Nasaie : no. 4901)

Namun, dalam suasana kita sekarang yang begitu jauh dengan Rasulullah SAW dari segi masa, adakah tidak berpeluang lagi untuk kita memberikan cinta kepada Rasulullah SAW? Sekalipun Rasulullah SAW telah meninggalkan kita jauh di belakang, sesungguhnya cinta terhadap baginda boleh dbuktikan melalui kepatuhan serta kecintaan terhadap sunnahnya. Oleh yang demikian, orang yang memandang hina malah mengejek-ngejek sunnah Rasulullah SAW tentunya tidak boleh dianggap sebagai orang yang menyintai Rasulullah SAW.

3. Cinta Sesama Mukmin
Interaksi kasih sayang sesama mukmin adalah merupakan pembuluh utama untuk menyalurkan konsep persaudaraan yang begitu utuh. Cinta sesama mukmin inilah yang mengajar manusia supaya menyintai ibu bapanya. Malah mengherdik ibu bapa yang bererti merungkaikan talian cinta kepada keduanya adalah merupakan dosa besar sebagaimana yang disebut di dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah r.a katanya:

“Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w, baginda telah bersabda: Mahukah aku ceritakan kepada kamu sebesar-besar dosa besar: Ianya tiga perkara, iaitu mensyirikkan Allah, mengherdik kedua ibu bapa dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu..” (Hadis riwayat Bukhari, no. 5519, Muslim : no. 126)

Alangkah indahnya sebuah agama yang mengajar penganutnya agar menghormati dan menyintai kedua ibubapanya yang telah melalui susah payah untuk membesarkan anak-anak mereka. Di manakah lagi keindahan yang lebih sempurna selain daripada yang terdapat di dalam Islam yang mengajar umatnya dengan pesanan :

“..Dan hendaklah engkau merendah diri kepada keduanya kerana belas kasihan dan kasih sayangmu, dan doakanlah (untuk mereka, dengan berkata): "Wahai Tuhanku! Cucurilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih sayangnya memelihara dan mendidikku semasa kecil." (Surah Israk, ayat 24)

Selain daripada cinta kepada kedua ibubapa ini, Islam juga meletakkan cinta sesama mukmin yang beriman sebagai syarat kepada sebuah perkumpulan atau jemaah yang layak bersama Rasulullah SAW. Hayatilah betapa dalamnya maksud firman Allah SWT :

“..Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)...(Surah Al-Fath, ayat 29) Malah, Al-Quran sendiri menukilkan betapa pujian melangit yang diberikan oleh Allah SWT kepada golongan Ansar yang ternyata menyintai golongan Muhajirin dengan cinta suci yang berasaskan wahyu Ilahi. Malah dalam keadaan mereka berhajat sekalipun, keutamaan tetap diberikan kepada saudara-saudara mereka dari golongn Muhajirin. Firman Allah SWT yang bermaksud :

“..Dan orang-orang (Ansar) yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa yang telah diberi kepada orang-orang yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. ..”(Surah Al-Hasyr, ayat 9)

Bukankah ini yang telah diajar oleh Islam? Maka di tengah-tengah kecaman keganasan yang dilemparkan kepada Islam pada hari ini, kenapa tidak masyarakat antarabangsa malah umat Islam sendiri melihat bahwa betapa agungnya unsur kasih sayang dan cinta yang terdapat di dalam Islam? Namun, betapa agungnya cinta di dalam Islam, begitu jualah agungnya penjagaan Islam sendiri terhadap umatnya agar sama sekali tidak mencemarkan kesucian cinta dengan kekotoran nafsu. Itulah cinta di dalam Islam. Ia tidak dapat tidak haruslah diasaskan di atas dasar keimanan kepada Allah. Alangkah ruginya cinta yang lari dari landasan iman. Akan hanyutlah jiwa-jiwa yang menyedekahkan dirinya untuk diperlakukan oleh ‘syaitan cinta’ sewenangnya-wenangnya

Cinta Dunia Remaja : Tragedi Yang Menyayat Hati
Tidak ada orang yang boleh mendakwa dirinya lari daripada mainan perasaan. Asal saja ia bernama manusia, maka sekaligus dirinya akan dicuba dengan mainan nafsu yang bagaikan lautan ganas yang begitu kuat bergelombang. Salah satu darinya ialah mainan cinta.

Tidak sedikit orang yang rebah kerana cubaan ini. Dalam berbicara persoalan peringkat pembinaan ‘cinta lutong’ (cinta monyet, terj, ed), mungkin menarik untuk menilik pendapat dari Syauqi. Benar kata Syauqi, cinta lutong ini bermula dengan mainan mata yang tidak mempunyai sempadannya; ia kemudiannya diikuti dengan sahutan suara dan saling berhubung. Sampai peringkat tersebut, amat sukar sekali bagi pasangan cinta untuk tidak bertemu dan berdating (berkencan, terj, ed) sekaligus mendedahkan diri kepada aksi yang lebih hebat. Oleh kerana itulah, Islam dalam menjaga kesucian cinta dari dicemari oleh unsur-unsur nafsu meletakkan batasan pandangan seorang muslim dan muslimah. Firman Allah SWT yang bermaksud :

“..Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan...”(Surah An-Nuur, ayat 30)

Betapa bahayanya cinta lutong ini boleh dilihat apabila pasangan yang dhanyutkan olehnya tidak akan berupaya untuk berfikir secara waras lagi. Setiap detik dan masa yang berlalu tidak akan sunyi dari memikirkan persoalan cinta mereka. Setiap saat, jiwa sudah tidak mampu lagi untuk tenteram sekiranya tidak diperdengarkan dengan suara halus dan lunak yang berbicara dengan kata-kata yang hanya layak diperdengarkan di dalam kelambu.

Sudah berkubur cita-cita perjuangan dan sudah lebur harapan masyarakat yang dipikulkan di atas bahu, yang ada hanyalah kehendak memuaskan hati pasangan masing-masing. Lantas, di saat demikian, layakkah orang yang hanyut ini diharapkan memikul tanggungjawab melaksanakan tugas penting membimbing masyarakat? Apakah penyelesaian terhadap permasalahan ini? Jalan yang paling baik ialah perkahwinan. Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud :

“..Wahai golongan pemuda! Sesiapa di antara kamu yang telah mempunyai keupayaan iaitu zahir dan batin untuk berkahwin, maka hendaklah dia berkahwin. Sesungguhnya perkahwinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka sesiapa yang tidak berkemampuan, hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu dapat mengawal iaitu benteng nafsu..”(Bukhari : no. 1772, Muslim : no. 2485)

Selain daripada perkahwinan yang tentunya merupakan perkara yang hampir mustahil untuk dilaksanakan dalam dunia seorang penuntut ilmu, maka Rasulullah SAW mencadangkan puasa sebagai jalan terbaik melepaskan diri dari kekangan nafsu yang meronta-ronta. Selain daripada itu, Islam sama-sekali tidak membuka pintu yang lain. Selain daripada perkahwinan, tidak dapat tidak, hanyalah kawalan terhadap jiwa mampu menyelamatkan diri sendiri dari turut terjun dalam arus ganas cinta lutong.

Sesungguhnya cinta sebelum perkahwinan adalah cinta palsu yang walaupun dihiasi dengan rayuan-rayuan halus namun ia adalah panggilan-panggilan ke lembah kebinasaan! Dan sekalipun kekosongan jiwa daripada cinta lutong secara zahirnya adalah penderitaan dan kesunyian yang begitu hebat, namun itulah hakikat cinta sejati kepada Allah. Andainya hati dihiasi dengan rayuan-rayuan syaitan yang seringkali mengajak ke arah melayan perasaan, maka hilanglah di sana cita-cita agung untuk menabur bakti kepada Islam sebagai medan jihad dan perjuangan.

Percayalah, masa muda yang dianugerahkan oleh Allah hanyalah sekali berlalu dalam hidup. Ia tidak akan berulang lagi untuk kali kedua atau seterusnya. Meniti usia remaja dengan berhati-hati dan mengenepikan mainan perasaan adalah merupakan perkara yang amat sukar sekali. Apatah lagi, semakin dihambat usikan perasaan, semakin ia datang mencengkam dan membara. Namun, itulah mujahadah melawan perasaan. Sekadar perasaan dan diri sendiri menjadi musuh, alangkah malunya untuk kita tewas terlalu awal. Usia emas yang diberikan ini alangkah baiknya andainya digunakan sebaik mungkin menggali sebanyak mana anugerah di bumi ilmu.

Namun, kita manusia boleh tertewas bila-bila masa sahaja. Tidak kira siapapun kita. Sekalipun kita arif malah benar-benar mengetahui bahawa yang hadir hanyalah sekadar tipuan, namun kita bisa rebah dalam ketewasan yang kita sendiri sebenarnya merelakannya. Oleh yang demikian, apakah yang akan menyelamatkan selain keimanan, ketakwaan dan kecekalan?

Oleh : Ahmad Fadhli bin Shaari http://www.geocities.com/afadhlis/politik18.htm
Dengan penyesuaian beberapa bagian ke dalam bahasa Indonesia agar mudah dimengerti tanpa merusak isi artikel, Edit oleh: Ade Anita (adeanita_26@yahoo.com.au)


sumber : kafemuslimah.com

Cintamu Abadi, Wahai Khubaib!


Cintamu Abadi, Wahai Khubaib!
Oleh cinta,sang pribadi kian abadi.
Lebih hidup, lebih menyala, lebih berkilau.

(Sir. M Iqbal)

Apa kabar sahabat ? Tidakkah Allah masih menumbuhkan kuku-kuku jarimu hingga tanganmu perkasa melakukan banyak hal ? Pada jenak ini, indera pandanganmu masihkah mampu membaca tulisan saya ini dengan baik ? Udara masih terjaga bukan untuk mengisi penuh paru-parumu hingga kau bernafas dengan leluasa? Dan jantungmu masihkah pula berdetak untuk mereguk sisa porsi waktu ? Jika demikian, saya pasti mendapat jawaban “Alhamdulillah luar biasa” untuk pertanyaan pertama.

Sahabat, pinjam waktumu sebentar. Bersiaplah untuk sejenak mengalun bersama kisah seseorang. Insya Allah sebuah kisah cinta, yang mudah-mudahan pesonanya membuat kita juga menjadi sepertinya. Menjadi seorang pecinta.

Sahabat, hafalkan dengan baik nama yang mulia ini, meski untuk itu, engkau harus pula bersusah payah. Bergegaslah mempersiapkan sebuah ruang dalam benak, untuk mengingatnya. Hingga suatu saat, kau mampu menebar hikmahnya kepada yang lain. Dan Insya Allah, hal ini adalah ekspresi cintamu, sama seperti tokoh utama pada kisah berikut. Seorang pecinta.

***

Seorang ksatria tengah tersenyum. Lembah Badar baru saja usai dari sebuah peperangan. Pekikan semangat Allah Maha Besar tak lagi terdengar. Senjata saling beradu sudah tak terjadi. Sebuah kemenangan baru saja tergenggam. Kaum kafir Quraisy beranjak pulang tanpa kepala yang tegak. Mereka merunduk malu setelah meneguk sebelanga pahit kekalahan. Tak pernah mereka kira jika manusia-manusia pencinta Muhammad, lebih memilih darahnya tumpah dibanding melihat Al-Musthafa terkena seujung kuku senjata. Untuk mereka, hari itu adalah kisah kelam yang amat sulit terlupa.

Cinta kepada Nabi yang Mulia menyemerbak di Lembah Badar. Nafas di raga bukanlah apa-apa dibandingkan keselamatan Al-Amin dan tegaknya Islam yang agung. Seorang ksatria masih saja tersenyum. Hatinya berbunga, karena Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal meregang nyawa di ujung pedangnya. Ia sungguh senang, bangsawan sekaligus pemimpin Quraisy pengganggu purnama Madinah itu, kini mati. Hari itu ia adalah salah satu perindu surga. Hari itu ia adalah salah seorang sahabat yang membuktikan kecintaannya kepada Rasulullah dengan turut menjadi pasukan para pemberani. Hari itu, ia adalah seorang ksatria pembela agama, yang kemudian cintanya abadi. Khubaib bin ‘Ady.

***

Suara Rasulullah memenuhi udara. Mesjid hening mendengar tuturnya. Semua pandangan berarah pada satu titik. Di sana, di atas mimbar, sesosok cinta tengah berdiri, memandang syahdu mereka semua. Dari bibir manisnya terlantunkan sebuah titah.

“Aku, baru saja didatangi, utusan dari kabilah ‘Udal dan Qarah. Berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Mereka sungguh berharap orang-orang yang akan membagi cahaya kebenaran, yang akan menghunjamkan bahwa Allah adalah Esa, yang akan mengajarkan Islam. Akan ada dari kalian yang terpilih untuk mengemban amanah itu”

Sesaat, Purnama Madinah menyapu pandangannya ke setiap penjuru. Para sahabat, tiba-tiba saja membusungkan dada, dan menegakkan kepala, seperti ingin dilihat Nabi. Setiap dari mereka berharap bisa dipilih sebagai duta. Padahal, ada beberapa dari sahabat yang masih terluka karena peperangan Badar. Melihatnya, Nabi tersenyum, bahagia berkelindan di sepenuh kalbu. Selanjutnya Nabi menyebut nama-nama, sepuluh orang terpilih. Ada satu nama di sana. Nama seorang ksatria. Khubaib bin ‘Ady.

***

Esoknya, dihantarkan do’a yang dialunkan, mereka berperjalanan. Bersemangat mereka pergi. Sesungguhnya mereka tahu, perjalanan itu tidaklah untuk bersenang. Mereka tahu, akan ada hal-hal yang tak terduga. Orang-orang kafir dari kabilah yang mendiami lembah-lembah bisa kapanpun menghadang dan membunuh mereka. Namun, kecintaan kepada Nabi yang Ummi, keimanan yang bersemayam dalam dada, membuat mereka berpantang menyurutkan langkah.

Benar saja.

Dari sejarah, kita tahu ketika mereka sampai di daerah antara ‘Usfan dan Makkah, sebuah perkampungan dari suku Hudzail yang dikenal dengan nama Banu Lihyan, para kafir mencium keberadaan mereka. Hampir seratus penduduknya memburu para duta Rasulullah. Tujuannya tidak lain, membunuh dan membuat para pengikut Rasulullah itu kembali kepada ajaran nenek moyang Arab. Orang-orang dari suku Hudzail itu terus membuntuti mereka, beratus anak panah disiapkan.

Sebuah ujian, Allah berikan kepada para pemberani, didikan Rasulullah. Mereka ditemukan para penyembah berhala tengah berlindung di sebuah bukit. Riuh rendah, gerombolan itu mengepung dan berteriak lantang :

“Kami berjanji tidak akan membunuh kalian, jika kalian turun dan menemui kami”.

“Kami tidak menerima perlindungan orang kafir “ seru Ashim, yang diamanahi Rasulullah sebagai pemimpin para utusan.

Mendengar itu, gerombolan itu menyerbu dan memanah mereka satu persatu. Para pencinta Rasul dan agama itu roboh. Ada yang luput dari panah dan pembunuhan itu. Tahukah kalian siapa dia? Ya.. dia adalah ksatria itu. Khubaib bin ‘Ady

***

Khubaib dibawa ke Makkah. Seperti mengikat unta, ia diiringkan. Dan dengan harga yang mahal, Khubaib dijual sebagai budak, kepada keluarga Al-Harits. Seluruh keluarga itu, bersuka cita, pembunuh kepala keluarga, Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal di peperangan Badar, kini berada nyata di tengah mereka. Para wanita bersyair dan berpesta. Bara dendam semakin berkobar. Darah harus dilunasi dengan darah. Ksatria pencinta Rasulullah itu tetap bertenang.

Khubaib kemudian ditawan. Ia dirantai seperti binatang peliharaan di halaman rumah Banu Harits. Mereka membiarkan Khubaib kedinginan di malam-malam gulita. Mereka menyaksikan Khubaib di terik panas matahari. Mereka tidak memberi Khubaib makan dan senang dengan haus yang Khubaib derita.

Suatu hari, seorang anak kecil merangkak menjumpai Khubaib. Khubaib menyambutnya dengan senyum tulus, dibiarkannya anak kecil itu bermain-main di paha lelahnya. Mereka bercengkrama dalam keakraban, hingga wanita dari keluarga Harits berteriak penuh kekhawatiran. Tahukah apa yang diucapkan Khubaib :

“Tenanglah duhai ummi, Rasulullah tidak pernah mengajarkan aku membunuh seseorang yang tidak berdosa. Ia hanya ingin bermain-main.”

Si ibu segera merengkuh si kecil, dan dengan penuh keheranan ia memandang setangkai besar anggur yang berada di samping Khubaib. Makkah tidak sedang musim buah. Seluruh keluarganya tak ada satupun yang rela memberi makanan. Sedang Khubaib di rantai besi. Bagaimana mungkin buah ranum itu berada di sana. Masih dengan takjub, ia berkata :

“Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik engkau duhai Khubaib. Anggur yang berada di sampingmu adalah rezeki bertubi yang Allah turunkan kepadamu.” Khubaib tersenyum.

***

Hari sudah sampai di pertengahan. Terik matahari, debu-debu yang berterbang garang di antara jubah indah yang dikenakan para pemuka Quraisy, hingga kilau pasir sahara yang panas tak terkira, menemani Khubaib yang tengah mendirikan shalat dua rakaat panjang. Ia masih ingin shalat sebenarnya, menjumpai zat yang dicinta sepenuh jiwa, Allah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy yang menyemut memperhatikannya “ Demi Allah, jika bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya aku menambah shalatku”. Yah, mereka memutuskan hari itu, Khubaib harus pergi selama-lamanya.

Beberapa dari orang Quraisy kini tengah bersiap dengan pelepah kurma yang mereka jelmakan serupa kayu salib raksasa. Tubuh Khubaib kemudian diikat kukuh disana. Khubaib mengatupkan kelopak mata, mengheningkan semua rasa yang meruah tumpah. Sesaat ia seperti terbang ke jauh angkasa. Salib pelepah terpancang sudah. Khubaib membuka mata, hamparan sahara terlihat mempesona. Di bawah sana berpuluh pasang mata menatapnya lekat. Khubaib memandang tangan mereka, beratus runcing anak panah tergenggam, beratus senjata tajam terkepal.

Di ketinggian, dengan sepenuh kalbu, Khubaib mengalunkan syair indah, mengenang cinta manusia terpilih yang mengirimnya untuk sebuah amanah indah. Merengkuh kembali ingatan atas sabda dari bibir manis Rasul mulia, syahid di jalan Allah akan menghantar setiap jiwa bertamasya di surga. Tiba-tiba saja Khubaib merindukan Al-musthafa. Tiba-tiba saja, ia menginginkan kembali saat-saat ia terpesona dengan wajah rembulah Rasulullah. Betapa ingin ia menjumpai manusia sempurna itu untuk menuntaskan utuh kerinduannya. Angin sahara menghantar suara Khubaib, membuat langit bersuka atas setiap untaian katanya :

Mati bagiku tak menjadi masalah.
Asalkan ada dalam ridha dan rahmat Allah.
Dengan jalan apapun kematian itu terjadi.
Asalkan kerinduan kepada Nya terpenuhi.
Ku berserah kepada Nya.
Sesuai dengan takdir dan kehendak Nya.
Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah.

Pada setiap sobekan daging dan nanah

Ucapan Khubaib terhenti. Beratus anak panah menghunjam tubuhnya. Pepasir Jan’im tersaput darah yang tumpah. Tubuh Khubaib perih. Tubuh Khubaib terkoyak. Luka menganga dimana-mana, namun jiwanya merasakan ketenangan yang tak pernah diresapi sebelumnya. Suara lesat anak panah terdengar riuh. Tenaga Khubaib melemah, dengan pandangan yang kian samar, ia menengadah. Ia tak perkasa bertutur lagi. Hingga doa yang ia pinta, hanya terdengar lirih di lengang udara :

Allahu Rabbi, ku telah menunaikan tugas dari Rasul Mu,
Maka mohon disampaikan pula kepadanya,
Tindakan orang-orang ini terhadap kami.

Sesaat kemudian tubuh Khubaib sunyi, sesenyap lembah yang ditinggalkan para kuffar setelah puas melihat nyawanya terhembus dari raga. Angkasa berdengung menyambut ruh ksatria perindu surga. Khubaib kembali, menuju Allah yang Maha Tinggi.

Tak seberapa lama, burung-burung bangkai memutari tubuh Khubaib yang masih mengucurkan darah. Berombongan mereka terbang datang dari kejauhan. Namun, Allah mencintai mu wahai Khubaib. Dengan cinta yang paling berkilau menyala. Dengan rahmat Nya, tak satupun burung pelahap bangkai dan nanah itu menyentuh tubuhmu yang dipenuhi panah. Satu persatu burung bangkai menghambur pergi, mengepak sayap terbang teramat jauh. Tubuhmu semerbak wahai Khubaib, hingga mereka malu dan tak mampu menyentuh meski hanya setipis kulit.

Allah mengabadikan cinta Khubaib. Doa Khubaib sebelum syahid dikabulkan. Kerinduan Khubaib saat akan dibunuh, sampai juga kepada Rasulullah di Madinah. Rasulullah merasakan sesuatu yang tak biasanya, sambil tertunduk ia terkenang seseorang yang tak diketahuinya. Ia memohon petunjuk Allah, dan tergambarlah sesosok tubuh yang melayang-layang di udara. Segera saja Nabi mengutus Miqdad bin ‘Amn dan Zubair bin Awwam untuk mencari tahu. Sebelum keduanya pergi, suara Al-Amin terdengar syahdu dan penuh rindu “Paculah kuda kalian seperti kilat, aku sungguh mengkhawatirkannya”.

Allah mengarahkan dan memudahkan perjalanan kedua sahabat. Mereka takjub melihat tubuh Khubaib yang masih utuh. Dalam hening, mereka menurunkan tubuh yang semerbaknya tidak hilang. Bumi menyambut Khubaib, akhirnya setelah sekian lama menunggu, bumi mendapat kehormatan untuk merengkuh dan memeluk Khubaib sepenuh cinta.

Kisah Khubaib berakhir di sana, namun di hati para perindu surga, Khubaib tetaplah hidup, menggelorakan cinta yang tiada pernah berakhir. Cinta yang abadi.

***

Sahabat, kadang saya senang berandai-andai. Andai Purnama Madinah itu bisa saya temui sekarang, andai Al-Musthafa itu mampu saya hubungi melalui telepon, andai manusia berparas rembulan itu bisa saya kirimi pesan singkat sms. Satu hal yang ingin saya sampaikan kepadanya, “Meski tidak sekemilau cintanya Khubaib, meski tidak sebenderang cinta Khubaib, tidak seberdenyar cinta Khubaib, tidak seabadi cinta Khubaib, perkenankanlah saya mencintaimu wahai kekasih yang ummi, dengan sebentuk cinta yang sederhana, dengan cinta yang tertatih ringkih, dengan cinta yang lahir dari hati yang kadang ujudnya buruk rupa”.
mahabbah12@yahoo.com

***

Disarikan dari :

1. Sejarah Hidup Muhammad, Haekal.
2. Sirah Nabawiyah, Dr.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy.
3. Para Sahabat yang akrab dengan kehidupan Rasul, Khalid Muhammad Khalid.

* Untuk sesosok ukhti di Pondok Pelangi, syukran atas banyak cintanya.


sumber : eramuslim

Cinta Lelaki Mulia

Di Thaif, lelaki mulia itu terluka. Zaid bin Haritsah yang mendampinginya pun ikut berdarah ketika berusaha memberikan perlindungan. Penduduk negeri itu melemparinya dengan batu. Padahal, ajakannya adalah ajakan tauhid. Seruannya adalah seruan untuk mengesakan Allah. "Agar Allah diesakan dan tidak disekutukan dengan apapun." Namun, Bani Tsaqif malah memusuhinya. Pejabat negeri itu menghasut khalayak ramai untuk menyambutnya dengan cercaan dan timpukan batu.


Meski diperlakukan sedemikian kasar, Rasulullah tetap pemaaf. Kecintaannya kepada umat mengobati derita yang dialaminya. Beliau menolak tawaran Jibril yang siap mengazab penduduk Thaif dengan himpitan gunung. Sebaliknya, ia mendoakan kebaikan bagi kaum yang mencemoohnya itu, “Ya Allah, berilah kaumku hidayah, sebab mereka belum tahu.”

Di Bukit Uhud, pribadi pilihan itu kembali terluka. Wajah Rasulullah SAW terluka, gigi seri beliau patah, serta topi pelindung beliau hancur. Fatimah Az-Zahra, putri beliau, bersusah payah untuk menghentikan pendarahan tersebut. Dua pelindungnya terakhir, Ali ra dan Thalhah ra juga terluka parah.

Bukit Uhud menjadi saksi kekalahan pahit itu. Pasukan pemanah yang diperintahkan menjaga bukit, dijangkiti gila dunia. Silaunya harta rampasan menggerogoti keikhlasan mereka. Akibatnya, pasukan kaum muslimin porak-poranda dan Rasul pun terluka. Meski kembali disakiti, cinta lelaki mulia itu tetap bergema, “Ya Tuhanku! Berilah ampunan kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Thaif dan Uhud merupakan hari-hari terberat sang Nabi. Pengorbanannya bagi umat tiada berbanding. Iltizam terhadap dakwah mewarnai hari-hari Rasul akhir zaman itu. Kecemasannya pada nasib umat selalu mengemuka. Ia adalah Rasul yang penuh cinta kepada umatnya. Cinta itu berbalas, generasi sahabat (generasi pertama) adalah generasi yang juga sangat mencintainya. Cinta yang diperlihatkan Zaid bin Haritsah di Thaif ketika menjadi tameng bagi rasulnya. Cinta yang dibuktikan Abu Dujanah, Hamzah dan Mush'ab bin Umair di bukit Uhud. Tapi, adakah generasi terkini masih mencintainya? Apakah umatnya sekarang tetap menyimak sunnah yang diwariskannya?

Sejarah berbicara, semakin panjang umur generasi umatnya, semakin menjauh pula generasi itu dari risalahnya. Umatnya saat ini, cenderung mencemooh segelintir mukmin yang masih menghidupkan sunnah. Buku-buku sunnah mulai terpinggirkan. Kitab Bukhari-Muslim harus bersaing dengan textbook dan diktat yang lebih menjanjikan keahlian dan masa depan. Serial sirah nabawiyah hampir menghilang dari tumpukan handbook dan ensiklopedia yang biasanya menjadi asksesoris di ruang tamu keluarga muslim.

Aspek sunnah dalam ber-penampilan dan berpakaian, ramai dikritisi dengan alasan tidak praktis. Contoh dari Rasul dalam keseharian, pun semakin dihindari. Sunnah dianggap simbol yang sifatnya tentatif, bukan sebagai panduan kehidupan (minhaaj al-hayaah). Apatah lagi aspek syar'i. Begitu banyak argumen yang dihembuskan sebagai 'pembenaran' untuk berkelit dan menghindari aspek syar'i dari sunnah. Wabah 'ingkar sunnah' ini mulai terjangkit dalam komunitas yang mengaku sebagai pengikutnya.

Keutamaan ber-shalawat kepada nabi pun nyaris terlupakan. Padahal Rasul berjanji untuk menghadiahkan syafaat bagi umatnya. “Setiap nabi memiliki doa yang selalu diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat” (HR Muslim).

Jurang antara umat dengan warisan risalah Nabinya ini tentu merugikan. Kecemerlangan pribadi Rasul nyaris tak dikenali umatnya. Padahal, dalam pribadinya ada teladan yang sempurna. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab (33): 21).

Merujuk kepada sunnah yang diwariskan Rasulullah adalah ungkapan kecintaan kepadanya. Cinta pada Rasul yang lahir dari keimanan kepada Allah. “Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran (3): 31).

Mencintai manusia mulia itu, berarti meneladani sirah nabawiyah sebagai panduan dalam mengarungi kehidupan. Kecintaan yang akan meluruskan langkah kita untuk ittibaa' (mengikuti) dan mewarisi komitmen untuk menyampaikan risalah kepada masyarakat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang hamba tidak beriman sebelum aku lebih dicintainya dari keluarganya, hartanya dan semua orang.” (HR Muslim). (Omurazza-Delft, Rabiul Awwal, 1425 H)

sumber : eramuslim

Cinta dan Sejuta Pengampunan

Kita adalah kumpulan waktu yang makin menipis dari hari ke hari. Perjalanan waktu yang kita tempuh pun makin menyusut. Karenanya jatah waktu kita makin sedikit. Inilah yang dinamakan kesempatan hidup dan berbuat. Kelak kita diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.

Hidup di dunia–bagi manusia–bagaikan perjalanan. Bagi kita yang sudah menempuh jarak + 20-30 an tahun, tentu banyak menemukan berbagai pengalaman berharga. Namun yang pasti, setiap perjalanan memerlukan sarana. Perjalanan seseorang juga tak mungkin dilakukan tanpa istirahat dan bekal. Kita yang berjalan kaki, dalam menempuh sebuah tujuan pun memerlukan minum dan makan. Mobil yang kita tumpangi juga perlu diisi bahan bakar. Proses ini kita namakan: pembekalan.

Salah satu karunia Allah yang berharga adalah Ramadhan, bulan pembekalan. Bahwa setiap tahun kita diberi kesempatan untuk sejenak bersama diri kita, merenung, berpikir dan melakukan dialog batin. Proses ini juga dinamakan: pembekalan.

Apa yang terjadi dalam menempuh jarak perjalanan yang kita sendiri kurang tahu panjang pendeknya? Kita hanya tahu tujuan akhirnya saja. Bahkan kita pun tak mengetahui, kapan kita sampai di tempat tujuan tersebut. Peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan tersebut menjadi ghaib kecuali yang telah kita lewati. Semua terhijab.

Perjalanan berat ini perlu kesiapan mental yang kuat. Karena bisa jadi kita tersesat di tengah jalan atau melakukan kesalahan yang kadang mengakibatkan kendaraan jadi rusak. Kemana kita mencari perbaikan? Kemana kita mencari bengkel?

Hanya satu: Allah. Karena hanya Dia yang mencipta dan mengetahui secara detail tentang kita. Lalu, bagaimana kita berinteraksi dengan Allah secara efektif. Bukankah Allah membuka pintu rahmah dan maghfirah-Nya setiap saat?

Bulan Ramadhan merupakan peluang emas. Allah mengistimewakan bulan ini. Rahmah-Nya diluaskan, pengampunan-Nya dibentangkan. Barang siapa yang mengejarnya, serius memohon dengan segenap azam. Allah menjanjikan akan memenuhinya. Bukankah Allah yang menyuruh kita untuk berdoa? Bukankah Dia juga yang berjanji mengabulkannya? Bukankah Dia pula yang memberitahu kedekatan itu? Dekat tanpa jarak dan perantara. (QS. 2:186)

Bulan yang pintu perbaikan senantiasa dibuka. Dengan segala kelapangan Allah menerima siapa saja. Bagi pemburu kebaikan Allah mempersilakan. Bagi pelaku dosa Dia bersedia mengulurkan maghfirah-Nya. Lantas, syeitan manakah yang membisikkan keputusasaan itu. Bukankah syeitan pun terbelenggu di bulan ini. Itu hanya bisikan nafsu yang terbiasa dengan buaian hawa dan kelezatan fana. Atau keraguan yang sempat bersemi di hati yang sedang sakit. Bukankah hati seperti ini perlu siraman. Ke mana lagi hendak dicari, jika bukan sekarang; Ramadhan. Hanya satu yang tak diberi kesempatan, mereka yang berputus asa dari rahmat-Nya. Sungguh bodoh orang yang tak mau memanfaatkan ini… Bila Allah telah menyediakan bekal perjalanan sementara kita tak mau mengambilnya. Atau tak mampu karena keterlambatan dan keteledoran yang kita lakukan.

Jangan sampai kita termasuk orang yang disabdakan Nabi Saw. “Merugilah orang yang menjumpai Ramadhan, sedang dosanya belum diampuni”.

Jika kita beristighfar setiap hari seratus kali, selama bulan Ramadhan, akan terkumpul istighfar sebanyak 3000 kali pada bulan ini. Namun bila Allah memberi kesempatan berjumpa dengan lailatul qadar. Koleksi istighfar kita akan mencapai 3.000.000 selain 3000 yang telah kita hitung. Dengan sejumlah istighfar tersebut akankah dapat menebus kesalahan dn kekhilafan yang pernah kita lakukan? Enggan bersyukur. Maksiat mata yang mengkhianati kebesaran-Nya. Dosa lidah yang tajam melukai kelembutan cinta-Nya pada makhluk-Nya. Telinga yang mendengar pergunjingan kemungkaran. Kaki yang melakukan kezhaliman. Tangan yang menghalangi kebaikan. Belum segudang gerutu hati mengomentari keputusan dan takdir-Nya.

Allah tak perlu angka-angka di atas. Itu hanya refleksi keluasan cinta-Nya dalam memotivasi hamba-Nya untuk melawan keputusasaan. Bukankah kelipatan tersebut hanya Dia yang paham? Kita hanya diberitahu perkiraannya saja.

Ya Rahman genggamlah jiwa ini. Karena ia ada pada “jari-jari” kekuasaan-Mu. Tunjukkan kemana hati ini berlabuh, jika tidak ke pangkuan kasih sayang-Mu. Pahamkan jiwa dan hati ini agar tak mendustai kebeningannya. Jangan Kau pekatkan ia karena nafsu dan bisikan. Bisikan apapun, ya Halim. Karena hamba telah berkali-kali jatuh. Jangan bosan Engkau menuntun. Jangan enggan Engkau ulurkan lagi. Entah sampai kapan hamba menyesal, kemudian menyesal dan menyesal lagi. Satu-satunya hal yang tak hamba sesali adalah menjadi makhluk-Mu. Karena Engkau tiada pernah bosan mengasihi dan memberikan cinta. Karena Engkau selalu … ya hamba yakin selalu bersama hamba. Meski hamba telah berkali-kali melukai cinta-Mu dengan maksiat dan dosa.

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sepenuh iman dan keikhlasan, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra)

sumber : eramuslim

Pilih Pacaran atau…..Ta’aruf?

Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal, kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke pengeksposean pernyataan cinta segala.

Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.

Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.

Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya. Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya Rasulullah SAW bersabda, “ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”

Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, “ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)

Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.

Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu. FirmanNya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 15:32) Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga bersabda, “Seandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti dihindari tuh.

Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.

Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridhoNya, masihkah kita yang mengaku hambaNya, yang menginginkan surgaNya, yang takut akan nerakaNya, masih melakukannya? Tapi kalau bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan nama Ta’aruf, artinya perkenalan.

Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta'arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.

Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau hasil ngerengek ke ortu tuh).

Ketiga, dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?

Keempat, melalui ta'aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.

Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung" pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.

Keenam, dalam ta'aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) kecil yang artinya kita terhindar dari zina.

Nah ternyata ta'aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi Allah. Jadi, sahabat……..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murkaNya?

oetari@alexandria.cc


Kafemuslilmah.com
Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...