Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Selasa, 29 Maret 2011

SEMINAR JIN DAN SETAN?SIAPA TAKUT?! PLUS RUQIYAH MASSAL OLEH IC MATARAM

PARA PESERTA MENDAFTAR ULANG PADA SEMINAR JIN DAN SETAN




AKSI PARA MUNSHID DARI JAVANNA VOICE YANG MENGHIBUR PESERTA SEBELUM DAN SESUDAH SEMINAR








SEMINAR JIN DAN SYETAN SIAPA TAKUT?!








MAKAN SIANG SEBELUM RUQIYAH MASSAL
 ini Dia Ustad Fitrah yang juga Pimpinan IC Mataram yang akan meruqiyah peserta






SUASANA RUQIYAH MASSAL, TERLIHAT PARA PESERTA YANG TUMBANG








Minggu, 20 Maret 2011

Sebab-sebab Kemerosotan Akhlak

Akhlak, memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan. Di antara sebab-sebab yang menjadikan merosotnya akhlak adalah sebagai berikut:

1. Lemah Iman

Lemahnya iman merupakan pertanda dari kerendahan dan rusaknya moral, ini disebabkan karena iman merupakan kekuatan (untuk membina akhlak) dalam kehidupan seseorang.

2. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku seseorang, karena -seperti dikatakan pepatah- bahwa seseorang adalah anak lingkungannya. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia, maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.

3. Kondisi tak Terduga

Terkadang seseorang secara tak terduga mendapati kondisi yang menjadi sebab bagi berubahnya perilaku dan kehidupannya. Yang tadinya baik tiba-tiba berubah menjadi buruk, jahat, tak bermoral dan sebagainya. Di antara kondisi tak terduga tesebut adalah:

-Terkucil
Keterkucilan terkadang menyebab kan seseorang berperilaku buruk, dadanya menjadi sempit dikarenakan rasa kecewa yang mendalam atau kurangnya kesabaran.

-Kaya
Seseorang yang baik dapat berubah akhlaknya menjadi buruk dengan sebab kekayaan, yaitu menjadi sombong dan buruk perilakunya.

-Fakir
Kefakiran, sebagaimana juga kekayaan dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku seseorang dari baik menjadi buruk. Mungkin karena merasa kedudukannya menjadi rendah, atau karena kecewa atas hilangnya kekayaan yang selama ini dimilikinya.

-Kesedihan
Kesedihan yang dibiarkan berlurut-larut dalam hati akan menyebabkan hati terobsesi dengannya sehingga menyebabkan seseorang tidak tahan dan tidak sabar menanggungnya. Akibatnya dia lari kepada hal-hal yang buruk sebagai pelampiasan, sehingga dikatakan bahwa kesedihan itu seperti racun.

-Sakit
Yaitu sakit yang menyebabkan perubahan tabi'at, sebagaimana juga perubahan pada anggota badannya. Maka akhirnya tidak lagi mampu untuk bersikap lurus proposional (i'tidal) dan tidak kuasa menahan berbagai penderitaan.

-Usia Lanjut
Usia lanjut sangat berpengaruh terhadap berubahnya kondisi fisik atau anggota badan. Demikian juga terkadang berpengaruh terhadap akhlak seseorang, karena menurunnya kemampuan, kecantikan dan kondisi diri sehingga dia merasa lemah untuk bersikap sabar dalam menerima kenyataan.

4. Ujub

Dari sikap ujub ini muncul berbagi akhlak tercela seperti sombong/ merendahkan orang/takabbur/besar kepala dan semisalnya.

Abu Wahb al-Marwazi berkata, ،§Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, ،§Apakah kibr (sombong) itu?،¨ Dia menjawab, ،§Jika engkau merendahkan orang lain.،¨ Lalu aku bertanya tentang ujub, maka dia menjawab jika engkau memandang bahwa dirimu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub.،¨ (Siyar A،¦lam an-Nubala،¦ 8/407).

Iman Ibnul Qayyim berkata, "Biang akhlak yang tercela adalah bermula dari kesombongan dan rendah diri. Dari kesombongan muncul sikap bangga, sok tinggi, hebat, ujub, hasad, keras kepala, zhalim, gila pangkat, kedudukan dan jabatan, senang dipuji padahal tidak berbuat sesuatu apa pun dan lain sebagainya.

Sedangkan sikap rendah diri dan kekerdilan jiwa melahirkan dusta, khianah, riya', makar, penipuan, tamak, inkonsisten, pengecut, kikir, lemah, malas, hina bukan karena Allah Ć’¹, memilih yang rendah daripada yang baik dan semisalnya. (Periksa al-Fawaid, 143-144)

5. Tidak Mengingkari Orang yang Berakhlak Buruk

Membiarkan orang lain berbuat keburukan, memberikan toleransi dan tidak peduli terhadap mereka adalah bukan sebuah sikap yang baik. Bahkan itu merupakan kelemahan serta memberikan peluang kepada mereka untuk terus melakukan perbuatan buruk, bahkan merupakan sebuah andil dalam perbuatan buruk mereka.

6. Rumah Tangga

Jika sebuah rumah tangga penghuninya membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak akan ikut terbiasa juga dengan akhlak tersebut. Sebaliknya jika sebuah rumah tangga tidak pernah mengenalkan dan membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak juga akan tidak tahu adab dan ketinggian moral.

7. Lupa Aib Diri Sendiri

Tatkala seseorang melupakan aib diri sendiri, maka dia tidak akan mengoreksi dan introspeksi diri. Dan hal ini merupakan salah satu sebab merosotnya ketinggian akhlak seseorang. Karena lupa akan kekurangan diri sendiri adalah sebuah kekurangan.

8. Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri)

Ketika jiwa seseorang kerdil maka dia tidak mampu untuk memenuhi berbagai macam hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya karena merasa berat dengan itu semua. Oleh karena itu dia mencari-cari alasan yang tidak benar atas kesalahannya dengan berbagai cara seperti berdusta, berkhianat atau bersikap munafik. Tak jarang juga melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang sebenarnya tidak bersalah.

9. Teman yang Buruk

Ketika seseorang berteman dengan orang yang buruk perangai maka dia biasanya akan terpengaruh dengan temannya tersebut, dan ini merupakan sebab akhlak seseorang menjadi rendah. Berteman dengan orang buruk juga terkadang menjadikan tumbuhnya su'udzan (buruk sangka) terhadap orang baik-baik.

10. Peristiwa Kehidupan

Salah satu sebab yang menjadikan akhlak seseorang rendah adalah terjadinya suatu peristiwa yang menyenangkan atau menyedihkan dalam kehidupan seseorang. Jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka dia akan menyikapi setiap peristiwa dengan benar. Dia akan bersyukur ketika mendapatkan kebaikan dan akan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan jika imannya lemah, maka dia akan sombong dan takabbur ketika meraih kenikmatan atau akan putus asa ketika tertimpa bencana.

11. Maksiat

Di antara akhlak rendah yang diakibatkan oleh kemaksiatan adalah berupa hilangnya cemburu dan rasa malu, lalu disusul dengan berbagai perbuatan keji dan buruk lainnya. Di dalam kitab ad-Daa' wad-Dawaa' hal 71-72 disebutkan, "Seseorang apabila semakin asyik dengan dosa, maka akan berkurang dari qalbunya rasa cemburu terhadap diri, keluarganya dan orang lain pada umumnya. Dan terkadang jika qalbu benar-benar lemah, maka keburukan tidak lagi dianggap sebagai keburukan. Jika telah sampai pada tingkat ini, maka berarti dia telah masuk pada pintu kebinasaan, bahkan amat banyak yang bukan hanya sekedar tidak menganggap buruk perbuatan buruk, namun lebih dari itu yaitu menganggap keburukan sebagai kebaikan.

12. Tabi'at (Watak Asli)

Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Dan tabi'at ini lebih mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.

13. Media Massa

Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah munculnya berbagai media massa dan stasiun-stasiun televisi yang beraneka macam dengan menyiarkan acara yang merusak dan cenderung mengajak kepada kerendahan moral. Tidak sedikit masyarakat yang gandrung dan kecanduan dengan seorang artis atau acara tertentu, sehingga dengan tanpa ilmu ikut-ikutan terhadap perilaku mereka yang rendah. wal ،¥iyadzu billah.

Sumber: Bina،¦ul Akhlaq, Abdullah bin Salim al-Qurasyi hal 92-101, secara ringkas. (Kholif)
Hit : 787 | Index Annur | kirim ke teman | versi cetak |

Merakit Persaudaraan dan Solidaritas

Urgensi Persaudaraan Dan Solidaritas

Pepatah mengatakan bahwa "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh". Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan seluruh aset dan potensi Umat Islam melainkan dengan menerjemahkan arti persaudaraan dan solidaritas secara benar, lalu diwujudkan dalam interaksi sosial dan prilaku kehidupan, Nabi Muhammad Salallahu alaihi wasallam telah memberi gambaran kepada kita secara jelas tentang potret persaudaraan . Beliau bersabda:

"Orang mukmin bagi orang mukmin lainnya seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan". Dan Rasulullah SAW menjalike jari-jarinya. (Muttafaq alaih).

Dan beliau Salallahu alaihi wasallam juga bersabda:
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling cinta, saling belas kasihnya dan saling perhatiannya laksanan badan jika salah satu anggota ada yang sakit, maka yang lainnya merasa mengeluh dan panas".(Muttafaqun alaih).

Landasan dan dasar persaudaraan dan solidaritas

Menurut Islam, bangunan persaudaraan dan solidaritas hanya bisa ditegakkan di atas aqidah dan manhaj yang sahih, karena persaudaraan tanpa adanya landasan -yang jelas dan kokoh yang mampu menyatukan berbagai kepentingan, ambisi dan keinginan- merupakan suatu hal yang mustahil. Maka memperjelas landasan dan manhaj persaudaraan itu lebih penting daripada persaudaraan itu sendiri, kecuali yang dikehendaki dari persaudaraan tersebut hanya berbaris dan bersatu secara jasad yang hampa dari nilai ketaqwaan, keimanan dan moralitas agama. Oleh sebab itu para rasul khususnya nabi Muhammad diperintahkan terlebih dahulu untuk menegakkan agama dan jangan berpecah-belah dalam menerima kebenarannya sebagaimana dalam firmanNya, yang artinya: "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya". (Asy-Syura: 13).

Jadi persaudaraan yang kita inginkan adalah persaudaraan yang mampu menjamin kesamaan ideologi, pemikiran, misi, visi, prinsip dan pandangan hidup tanpa harus menghilangkan kemerdekaan beraspirasi, berkreasi dan berkomunikasi, asalkan masih dalam koridor yang dibolehkan Aqidah Islam.

Dengan melandaskan persaudaraan dan solidaritas di atas aqidah, kita bisa dengan mudah menghancurkan dan meluluhkan segala bentuk kebatilan . Apabila bentuk persaudaraan tidak seperti di atas, maka Umat Islam hanya menjadi bulan-bulanan umat lain dan menjadi obyek dari berbagai kepentingan belaka. Dalam hal ini Rasulallah Salallahu alaihi wasallam telah memberi peringatan cukup jelas tentang kondisi Umat Islam, bila dalam hidupnya keluar dari Aqidah Islam dan lebih memilih keduniaan (artinya): "Hampir-hampir umat lain bersekongkol mengeroyok kalian seperti orang-orang makan mengeroyok makanan dari nampan. Seorang bertanya: Apakah kita di saat itu sedikit Wahai Rasulallah? Beliau menjawab: Bahkan kalian banyak tetapi kalian seperti buih banjir. Dan Allah mengambil dari hati-hati musuhmu rasa takut terhadap kalian, lalu Allah memasukkan di hatimu (penyakit) wahan. Kami (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulallah apa itu wahan?. Beliau menjawab: Cinta dunia dan benci mati. (HR Ahmad dan Abu Daud)

Penyebab Perpecahan dan Pertikaian Umat Islam

Perpecahan bukanlah semata-mata takdir dan ketentuan sunatullah akan tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor manusiawi.

Adapun foktor-faktor yang dominan menjadi pemicu perpecahan di kalangan Umat Islam antara lain:

Bercampurnya ajaran kesyirikan dan kebid'ahan dengan ajaran Islam sehingga sebagian Umat Islam sudah tidak mampu membedakan antara ajaran yang murni dengan ajaran yang batil.

Bodohnya sebagian Umat Islam terhadap ajaran Islam yang murni dan sangat lemah untuk mempelajari ajaran islam secara benar.

Fanatis dan taklid buta terhadap kelompok, tokoh atau figur.

Lebih senang mengedepankan keinginan hawa nafsu dengan mengorbankan nilai-nilai keimanan.

Mendahulukan akal dan logika belaka daripada nash-nash Al-Qur'an dan hadits.
Kiat-kiat untuk merealisasikan persaudaraan dan solidaritas
Pemurnian tauhid dan luruskan aqidah serta bersihkan kesyirikan, bid'ah, takhayul dan khurafat, karena tidak mungkin kita menyatukan umat dalam satu barisan sementara masih ada perbedaan yang fondamental dalam masalah aqidah
Firman Allah SWT, artinya: Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 31-32).

Persaudaraan dan solidaritas yang selalu mengedepankan ilmu dan cinta ulama, sebab ilmu adalah kunci perekat nilai persaudaraan, semakin tinggi kesadaran ilmu agama seseorang semaikin tinggi ilmu ruhiyah persaudaraan yang ia perjuangkan.
Sabda Rasulallah:
Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan pada dirinya, maka ia difahamkan dalam urusan agama . (Mutafaq 'Alaih)

Mampu menundukkan nafsu dan keinginannya di bawah apa yang dibawa oleh Rasulallah.
Sabda Rasulallah:
Tidaklah beriman diantara kalian sehingga ia memperturutkan hawa-nafsunya dengan apa yang aku bawa dan tidak melenceng darinya.

Menanggalkan segala bentuk fanatis terhadap figur, kelompok dan golongan tertentu dan hanya fanatis terhadap Aqidah Islam.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Memerangi segala bentuk taklid yang membabi-buta yang mengalahkan obyektifitas dalam memerima dali-dalil kebenaran.
Dan janganlah mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra': 36).

Hak dan kewajiban dalam hidup bersaudara
Saling mengasihi dan menyayangi antara sesama saudara mukmin berdasarkan sabda Rasulallah salallahu alaihi wasallam
"Tidaklah beriman diantara kalian sehingga saudaranya lebih dicintai dari pada dirinya sendiri."

Saling memberi pertolongan dan bantuan dalam segala keperluan dan kebutuhan
Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan dari saudara mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesulitan darinya di hari Kiamat, dan barangsiapa yang memudahkan orang sedang dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim).

Saling mengujungi dan menziarahi, karena hal tersebut akan menumbuhkan persaudaraan dan mendatangkan rahmat dari Allah serta akan diluarkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Barang siapa yang senang diluaskan rizkinya dan ditunda umurnya, maka hendaklah bersilaturrahmi.

Saling menjaga nama baik, kehormatan dan harga diri berdasarkan sabda Rasulallah Salallahu alaliwasalllam:
"Ketahuilah sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian menjadi haram terhadap kalian seperti haramnya bulan kalian ini dan negeri kalian ini. (HR. Ahmad).

Saling mendoakan dan memohonkan ampun kepada Allah, sebagaimana firman Allah, artinya: "Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 10).
(Zaenal Abidin).

Kitab rujukan :
Al-Ukhuwwah, syuruthuha wa dhawabituha, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah.
Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.
Al-Wala' wal Bara', Syaikah Abdullah Al-Jibrin.
Ath-Thaifah Al-Manshurah, Muhammad bin Ibrahim Syaghrah.
Manhaj Ath-Thaifah Al-Manshurah, Muhammad bin Jamil Zainu.

Kekeliruan sikap Di Masa Muda

Masih amat banyak para pemuda yang jatuh dalam pergaulan yang salah, senang dengan tindakan brutal dan kekerasan, ugal-ugalan, hura-hura dan bahkan kemaksiatan seperti, minum minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Termasuk tingkat yang mengkhawatirkan adalah meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilaku-kan oleh setiap muslim yang telah baligh, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Alasannya sangat sederhana, yakni memang begitulah seharusnya seorang pemuda itu, kalau tidak demikian namanya bukan anak muda.

Kita semuanya tanpa kecuali pasti menyadari, bahwa masing-masing kita mempunyai kesalahan dan pernah berdosa, terlupa serta khilaf. Hanya saja orang yang mendapatkan taufiq dan mau menyadari kekeliruannya pasti akan bersegera untuk bertaubat dan minta ampun kepada Allah. Menyesali perbuatan itu dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi-nya, sebagaimana difirmankan Allah,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. 3:135-136)

Betapa Maha Besarnya Allah! Seseorang telah melakukan tindak kekejian, menganiaya diri sendiri, kemudian mau bertaubat, menyesal, minta ampunan dan meninggalkan kemaksiatan itu lalu Allah mengampuni dan memberikan untuknya kenikmatan abadi di Surga.Mengalir di bawahnya sungai-sungai, disediakan buah-buahan ranum tak kenal musim, keteduhan dan kedamaian, bidadari yang jelita dan memandang wajah Allah Yang Agung lagi Mulia yang merupakan nikmat paling besar bagi penduduk Surga.

Pangkal Kekeliruan

Berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan para pemuda ternyata memiliki muara yang boleh dikatakan sama, yaitu kekeliruan dalam memaha-mi dan menyikapi masa muda. Hampir sebagian besar pemuda memiliki persangkaan dan persepsi, bahwa masa muda adalah masa berkelana, hura-hura, bersenang-senang, main-main, berfoya-foya dan mengabiskan waktu untuk bersuka ria semaunya.

Untuk menimbang dan meman-dang dari sudut syar’i dikatakan belum waktunya dan bukan trendnya. Padahal kenyataannya syari’at berbicara lain, yaitu masa muda adalah masa dimulainya seseorang untuk memikul suatu beban tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, bahwa ada tiga golongan yang pena diangkat (tidak ditulis dosanya) yang salah satunya adalah seorang anak hingga ia dewasa (menjadi pemuda). Maka bagaimanakah seorang pemuda muslim yang ketika itu catatan keburukan sudah mulai ditulis malah justru memperbanyak keburukannya?

Yang sebenarnya adalah, masa muda merupakan masa dimulainya seseorang memulai menumpuk dan memperbanyak amal kebajikan, masa menghitung dan introspeksi diri, masa penuh semangat dan jiwa membara untuk membangun dan beramal sebanyak-banyaknya. Masa di mana segenap kemampuan dan tenaga dicurahkan serta masa yang penuh dengan kesempatan emas untuk melakukan berbagai ketaatan dan kebaikan.

Bentuk-Bentuk Kesalahan yang Sering Dilakukan Pemuda

1. Meremehkan Kewajiban

Banyak sekali di antara para pemuda yang meremehkan kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , mereka lupa, bahwa Allah menciptakan manusia tidak lain adalah agar beriba-dah kepada-Nya. Allah telah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan”. (QS. 51:56-57)

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hadits qudsi, berfirman,
“Tidaklah hamba-Ku melakukan taqarrub (ibadah) dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Kewajiban paling pokok yang sering dilupakan oleh kebanyakan anak-anak muda adalah shalat (lima waktu) yang merupakan ibadah paling agung setelah syahadatain. Nabi telah menegaskan dalam sabdanya,
“Pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah (dalam hal) meninggalkan shalat.” (HR Muslim).
Dan sabdanya yang lain, “Perjanjian antara kita (muslimin) dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, maka barang siapa meninggalkannya ia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai dishahihkan oleh Al-Albani).
Apabila seseorang telah menyia-nyiakan shalatnya, maka terhadap selain shalat biasanya lebih menyia-nyiakan lagi.

2. Terlalu Menuruti Hawa Nafsu

Yakni dengan tanpa memperhati-kan halal dan haram lagi, yang penting kemauannya terpenuhi. Jika saja ia mau bersungguh-sungguh memegang aturan Islam serta mau berpegang dangan talinya, maka tentu Allah akan menjaganya dari hal-hal yang haram. Kemudian Allah akan memberikan untuknya kesenangan yang halal yang dapat mencukupinya. Namun karena keimanan yang lemah dan rasa malu yang tipis, maka ia malah enggan dengan pemberian Allah tersebut dan lari darinya sehingga melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Maka ia berhak mendapatkan celaan dari Allah dalam firmanNya,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. 19:59)

3. Menyia-Nyiakan Waktu/Umur.

Hal ini disebabkab karena kitidak-tahuan terhadap hakekat fase masa muda, serta tujuan dari kehidupan. Seandainya para pemuda menyadari, bahwa waktu adalah kehidupannya dan umur adalah segala-galanya, tentu mereka tidak akan membuangnya dengan percuma.
Sebagian salaf berkata,”Wahai anak Adam! kalian adalah hari-hari yang berputar, tatkala lewat satu hari, maka bagian dari dirimu telah hilang.”

Mabuk-Mabukan dan Mengkonsumsi Narkoba

Ini merupakan bala’ yang sangat besar bagi kawula muda, karena dengan terjurumus di dalamnya berarti ia telah menyerahkan jiwanya untuk dikendalikan setan dan hawa nafsu yang buruk.
Khamer adalah biang kekejian sedangkan narkoba tak ada bedanya dengan khamer karena sama-sama memabukkan dan merusak akal. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam sabdanya telah menegaskan,
“Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram.” (Muttafaq ‘alaih).

5. Merokok

Merokok memang bukan kategori miras atau narkoba, namun tetap saja merupakan sesuatu yang membahayakan ditinjau dari berbagai segi, baik kesehatan, kejiwaan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu banyak ulama yang menyatakan keharamannya berdasarkan banyak dalil yang terkait dengan bahaya-bahaya tersebut. Di antara dampak negatif merokok adalah membahayakan kesehatan, jika dilaku-kan di tempat umum asapnya mengganggu dan membahayakan orang lain serta termasuk menyia-nyiakan uang untuk sesuatu yang tidak berguna.

6. Kebiasaan Rahasia (Onani)

Biasanya para pemuda yang melakukan ini karena khawatir terjerumus ke dalam dosa zina, maka dengan itu ia berharap agar dapat meredam gejolak syahwatnya. Namun kenyataannya tidak sesuai yang di harapkan, malahan justru menambah besar dorongan hawa nafsunya. Ia bukanlah obat penyembuh, dan bukanlah cara penyaluran yang sesuai syariat.
Obat yang dianjurkan adalah menikah, menjaga pandangan, puasa, menyibukkan diri dengan kegiatan positif, mencari teman yang baik, menjauhi tempat-tempat yang banyak fitnah, tidak menonton acara-acara yang merusak dll.

7. Suka Meniru Trend Orang Kafir (Tasyabbuh)

Masalah ini cukup serius dan membahayakan, muncul akibat perasaan kurang dan rendah kemauan yang membawanya berputar dalam lingkaran keburukan. Tidak mau menghiasi diri dengan tingginya akhlak yang diajarkan oleh agamanya sendiri. Mereka lupakan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam ,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani)

8. Hobi Mengumbar Lisan

Bentuknya berupa mengejek dan mengolok-olok orang, menggunjing dan adu domba, dusta, mencela dan melaknat serta mengucapkan perkataan perkataan buruk dan jorok. Di antara firman Allah yang melarang hal-hal tersebut adalah surat Al-Hujurat :11-12.

9.Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

Allah telah mengingatkan kita semua dengan firman-Nya
“Dan Kami perintahkan kepada manu-sia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya” (QS.Luqman :14)
Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam , “Terlaknatlah siapa saja yang mendurhakai kedua orang tuanya.”(HR. Ath-Thabrani dishahihkan oleh Al-Albani)

10. Mendengarkan Nyanyian dan Musik

Para pemuda dan juga kebanyakan manusia amat perhatian dengan musik dan nyanyian-nyanyian, hingga rumahnya penuh dengan koleksi lagu-lagu yang boleh dibilang sebagian besarnya berbicara tentang cinta, syahwat dan segala yang memancing tindakan buruk.
Nabi telah mensinyalir melalui sabdanya, “Sungguh akan datang suatu zaman pada umatku ini dimana saat itu orang-orang menganggap halal perzina-an, sutra, khamer dan musik.”(HR. Al-Bukhari)

11.Bangga dengan Perbuatan Dosa

Amat banyak anak muda yang merasa bangga apabila dapat mencelakai sesamanya, memukul atau menghajar hingga terluka, kuat minum sekian botol, tidak puasa Ramadhan dan lain sebagainya. Andaikan ia tidak terang-terangan dan merasa bangga dengan dosanya, maka besar kemungkinan Allah akan mengampuninya, karena dalam Hadits Muttafaq ‘Alaih, Nabi Salallahi alaihi wa salam telah bersabda, bahwa seluruh umatnya akan diampuni kecuali al-mujahirun (orang yang terang-terangan dalam berbuat dosa).

12. Tidak mensyukuri nikmat Allah dan menyia-nyiakannya.

13. Mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak menghormati yang tua.

14. Memutuskan hubungan silatur rahmi.

15. Suka mengikuti program obrolan dengan lawan jenis via telepon.

16. Menunda taubat dan panjang angan-angan.

17. Terlalu banyak tertawa dan bercanda

18. Bergaul dengan teman yang buruk perangai.

19. Tidak perhatian dengan urusan-urusan kaum muslimin.

Sumber: Kutaib “Min Akhtha’ Asy Syabab” Qism Al-Ilmi Darul Wathan Riyadh.

Sabtu, 19 Maret 2011

Menuju Hari Yang Lebih Bermakna

Seperti biasa, matahari terbit di waktu pagi lalu terbenam di senja hari, dan sehari pun berlalu, namun ada pertanyaan baru yang patut untuk kita renungi, “Apa yang kita kerjakan untuk mengisi hari itu?” Berapa banyak hari yang berlalu, berapa banyak umur telah kita lewati, namun sedikit di antara kita yang menghitung diri, menjinakkan nafsu dengan cambuk muhasabah. Bahkan kebanyakan manusia membiarkan hari-harinya lewat, sedangkan dia tenggelam di dalam lautan kelalaian dan gelombang panjang angan-angan.

Ketika fajar menyingsing, banyak manusia yang menyambut hari mereka dengan niat yang tidak lurus. Setelah sehari terlewatkan, ketika malam menjelang, mereka kembali menuju kasur-kasur mereka dengan niat yang tiada beda pula. Seorang bijak ditanya, "Dengan niat apakah seseorang bangun dari tempat tidurnya? Maka dia menjawab, "Jangan kau tanya tentang bangunnya dulu, sehingga diketahui bagaimana dia itu tidur. Barangsiapa yang tidak tahu bagaimana dia tidur, maka tidak tahu bagaimana dia bangun."

Wahai saudaraku, perhatikan matahari yang terbit dan tenggelam. Sudahkah kau renungkan harimu yang kau lalui? Tanyakan! Apa yang sudah kupersembahkan untuk kebaikan, apa kah yang kuperbuat ini untuk menyam-but hari-hariku? Amat banyak manusia yang tidak memiliki perhatian terhadap berlalunya waktu, padahal nafasmu wahai anak Adam, adalah sesuatu yang dihitung dan tertulis.

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun". (al-Kahfi : 49)

Dan juga firman-Nya, artinya,
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-peker-jaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Infithar:10-12)

Nafas-nafas terhitung, amal-amal tertulis! Andaikan orang-orang yang lalai mau memikirkan ini semua, tentu mereka akan hati-hati terhadap diri mereka dan akan manahan diri dari jalan yang menyimpang. Namun amat sedikit manusia yang mandapat taufik, dan amat sedikit di antara mereka yang mau mengetahui jalan yang lurus.

Seorang bijak berkata, "Ketika pagi hari, maka selayaknya seseorang berniat untuk empat hal: Pertama melaksanakan apa yang diwajibkan Allah atasnya; Kedua, menjauhi apa saja yang Dia larang; Ketiga berlaku adil antara dirinya dengan orang lain yang ada hubungan muamalah; Keempat memperbaiki hubungan (ishlah) dengan orang yang memusuhinya. Jika dia menyongsong pagi dengan niat-niat ini, maka aku berharap dia termasuk orang shalih yang beruntung."

Wahai Saudaraku! Untaian kalimat di atas memuat berbagai macam pintu kebaikan, maka orang yang melakukan- nya berarti telah mendapatkan taufiq dan bimbingan untuk meniti jalan yang benar. Marilah kita renungkan, mari kita pikirkan, apakah diri kita termasuk orang-yang demikian? Jika jawabannya "iya" maka banyak-banyaklah memuji Allah Ta'ala dan mohonlah tambahan dari keutamaan-Nya dan ketetapan hati untuk menetapi hal itu. Jika jawabannya "tidak" atau "belum", maka lihat dan koreksi kembali diri kita sebelum hilang seluruh kesempatan. Bersegera lah memperbaiki segala urusan, mohon kepada Allah taufiq untuk dapat menempuh jalan kesuksesan.

Janganlah anda keluar dari rumah di pagi hari, kecuali untuk sesuatu kebaikan yang diridhai oleh Tuhanmu. Sungguh merugi, sungguh celaka mereka yang melewati hari-harinya dengan sia-sia, bukan dengan mela-kukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Ketika matahari bersinar di siang hari, mereka melewati dengan kemak-siatan dan ketika dia terbenam, mereka mengakhiri hari itu dengan kemaksiatan pula. Hari kita adalah umur kita, jika telah lewat sehari, maka semakin dekat jalan kematian yang akan kita tuju. Dan bila maut benar-benar telah datang, maka habis sudah-harimu itu.

Muhammad bin Wasi' Rahimahullaah pernah ditanya, "Bagaimana anda di pagi hari ini?” Maka beliau mejawab, "Apa pendapatmu tentang seseorang yang akan berjalan menuju akhirat setiap hari satu perjalanan?”

Dawud ath-Tha'i Rahimahullaah juga mengata- kan, "Malam dan siang tak lain hanya sekedar perjalanan yang pasti dilewati oleh seluruh manusia, sehingga hari-hari itu habis mereka lewati sampai akhir perjalanan. Jika engkau mampu menyiapkan bekal pada setiap harinya untuk perjalanan yang akan datang (akhirat), maka lakukan itu. Karena terputusnya perjalanan sudah dekat, sedang urusan lebih cepat dari itu. Berbekallah untuk perjalananmu, dan selesaikan urusan yang dapat kau selesaikan, seakan-akan urusan itu selalu mengagetkanmu.”

Demikianlah orang sholeh mema-hami betapa berartinya waktu dan umur. Mereka berusaha sekuat tenaga menghabiskan hari-harinya di dalam ketaatan kepada Allah. Maka sepantas-nya setiap orang yang berakal meng-hitung dirinya, lalu mengarahkannya menuju jalan ketaatan. Demikian setiap hari ketika menyambut pagi hari yang baru. Ketika menuju pembaring-an di malam hari hendaknya mengu-lang lagi muhasabah itu dan terus bertanya kepada diri sendiri.

Al-Mawardi Rahimahullaah memberitahukan kepada kita, bagaimana cara melakukan muhasabah; Yaitu dengan melihat kembali pada waktu malam, lembaran yang telah dilewati sepanjang siang hari, karena waktu malam lebih dapat mengingat apa yang terlintas dalam benak, lebih berkonsentrasi dalam berfikir. Jika yang telah dilalui adalah terpuji, maka biarkan dia lewat, lalu ikuti dengan yang serupa dan sebanding dengannya. Jika merupakan perbuatan tercela, maka susul dengan kebaikan jika mungkin, dan berhentilah dari perbuatan seperti itu di hari yang akan datang.”

Ibnu Umar Radhiallaahu anhu ketika beliau ketinggalan shalat berjama'ah suatu malam, kemudian terlambat shalat Maghrib pada suatu petang, sehingga bintang-bintang sudah tampak, maka beliau menebus dengan memerdekakan dua budak.

Telah berkata Sa'id bin Jubair, "Seluruh hari yang dilalui oleh seorang mukmin adalah harta rampasan!”

Dan itu benar, bahwa seluruh hari-hari kita adalah ghanimah karena merupakan kesempatan emas untuk berbekal dengan kebaikan, menumpuk berbagai amal shaleh, kesempatan untuk bertaubat dan kembali kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Namun sangat sedikit orang yang mau memahami dan mengambil manfaat dari hari-hari mereka.

Anda akan melihat sebagian besar manusia terlena berjam-jam dalam setiap hari. Mereka bahkan terlena pada sebagian besar hari-hari yang begitu banyak. Maka berlalu hari demi hari, umur pun semakin habis sedang mereka tetap dalam kelalaian. Dunia dan segala angan-angan telah membuat mereka terbuai. Kemewahan dan kemegahan menghalangi mereka dari jalan yang lurus. Syaitan terus mengu-lur kan tali angan-angan yang penjang tanpa batas, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. 47:25)

Berkata al-Hasan al Bashri, "Syai-tan menghiasi di mata mereka berbagai macam dosa, lalu mengulur-ulur mereka di dalam angan-angan yang panjang."

Berkata pula Al Hafizh Ibnu Hajar, "Panjang angan-angan akan melahirkan rasa malas mengerjakan ketaatan, menunda-nunda taubat, cinta dunia, melupakan akhirat serta kerasnya hati. Karena kelembutan dan kebeningan hati, hanya akan diraih dengan meng-ingat mati, kubur, pahala, siksa serta huru hara di Hari Kiamat sebagaimana difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, artinya,
“Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.” (QS. 57:16)

Manusia yang berakal adalah dia yang menjadikan dunia ini sebagai ladang untuk akhirat, menanam dan menyirami dengan berbagai amal shaleh agar dapat memetik buahnya kelak di akhirat. Hari di mana manusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali apa yang telah diperbuatnya berupa kebaikan maupun keburukan.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya, “Segera kalian susul dengan amal berbagai fitnah yang seperti potongan malam yang gulita. Seseorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, atau beriman di sore hari dan menjadi kafir di pagi hari.”

Wahai saudaraku, apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut suatu hari, dimana engkau sendirian di dalam kubur. Apakah selama ini engkau termasuk orang yang terlena dengan angan-angan yang panjang atau kah termasuk orang yang menggunakan bashirah (pandangan yang jernih) yang beramal untuk hari esok ?

Maka segeralah berintrospeksi, menghitung diri, karena dunia adalah Darul Ghurur (tempat yang memper-daya), pasti akan ditinggalkan. Tidak ada yang terlena, kecuali orang jahil. Untuk itu perhatikan kiat-kiatnya sbb :

Ketika pagi mulailah hari dengan berdzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, sebagai mana diajarkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, serta jangan lupa membaca do’a pagi hari.
Sambutlah hari itu dengan niat yang benar, berazam melakukan ketaatan, menjauhi segala maksiat serta memohon kepada Allah taufik dalam jalan yang diridhai.
Jangan melupakan dzikir kepada Allah dan jangan biarkan hari berlalu tanpa ada dzikrullah.
Kerjakan shalat fardhu lima waktu, di mana pun anda berada.
Tahanlah tanganmu dari mengganggu sesama muslim, sayangi orang yang lemah dan ajari mereka yang tidak tahu.
Tersenyum di hadapan saudara sesama muslim adalah shadaqah.
Berilah nasihat kepada sesama muslim, jangan biarkan mereka terjerumus dalam dosa.
Senang jika sesama muslim mendapatkan kebaikan, sebagaimana anda senang jika mendapatkannya.
Jangan sepelekan perbuatan baik walau hanya perkara kecil dalam pandangan anda.
Jika ada kesempatan bertaqarrub kepada Allah, maka jangan sia-siakan.
Bergegaslah mengumpulkan kebaikan sebagaimana anda senang jika harta anda terkumpul.
Jauhilah perkara-perkara syubhat, selamatkan agama anda dari segala yang merusaknya.
Jauhkan diri anda dari segala bentuk kemaksiatan, atau segala sesuatu yang mengantarkan kepadanya.
Jadikan seluruh niat anda adalah untuk kebaikan, amal shaleh dan menjauhi segala yang haram. Karena barangsiapa berniat dengan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala kebaikan itu.
Pintu kebaikan amatlah banyak tak berbilang. Apa yang tersebut di atas hanya sebagai pengingat saja. Orang yang menjadikan hari-harinya penuh dengan kebahagiaan , kebaikan dan ketaatan, maka dialah orang yang telah mendapatkan taufik. Wallahu a’lam.

Sumber: Buku “Kaifa Tastaqbil Yaumak”, Azhari Ahmad Mahmud, Dar Ibn Khuzaimah, Riyadh.(Ibnu Djawari)

Kiat Sukses Menuntut Ilmu

Proses belajar atau menuntut ilmu, khusunya ilmu syar'i terkadang sering mengalami berbagai hambatan dan kendala. Seorang thalib ilmu atau siapa saja yang sedang belajar biasanya akan menghadapi berbagai masalah dalam belajar, baik terkait dengan pribadi, keluarga, teman, pergaulan bahkan masalah ketika sedang belajar dan masalah-masalah lainnya yang terkadang menyebabkan kegagalan bagi sebagian pencari ilmu .

Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan dengan metode yang benar serta terarah akan membuat seorang thalib ilmu lebih mudah mendapatkan ilmu, mudah dalam memahami, mudah dalam menghafal serta akan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang lainnya. Agar proses belajar lebih terarah dan membuahkan hasil yang maksimal, maka berikut ini kami sampaikan beberapa kiat di dalam belajar, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Kiat Pertama;

Selalu ingat bahwa ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah subhanahu wata’ala
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 58:11)

Menuntut ilmu dengan niat dan tujuan yang benar merupakan jalan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Barang siapa yang menempuh suatu jalan karena bertujuan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR at-Tirmidzi, periksa shahih al jami' ash-shaghir 6174)

Kiat Ke dua;

Selalu menyadari betapa besarnya celaan yang ditujukan terhadap orang-orang yang berkata tanpa ilmu, seperti di dalam firman Allah subhanahu wata’ala,
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. 16:116-117)

Oleh karena itu kita dapati salafus shalih sangat hati-hati dan takut di dalam memberikan fatwa. Di antara contohnya adalah apa yang disampaikan oleh Imam Malik rahimahullah, beliau mengatakan, "Saya tidaklah berfatwa sehingga telah bersaksi tujuh puluh orang… bahwa saya berhak untuk itu (menyampaikan fatwa)." Beliau juga mengatakan, "Aku tidak menyampaikan fatwa sehingga aku bertanya kepada Rabi'ah dan Yahya bin Sa'id lalu keduanya menyuruhku untuk menyampaikan itu, andaikan keduanya melarangku, maka aku tidak menyampaikan." (I'lamul Muwaqqi'in, Ibnul Qayyim)

Sementara al-Qasim rahimahullah juga berkata, "Demi Allah, andaikan lidahku putus, maka itu lebih aku sukai daripada aku berbicara dengan sesuatu yang aku tidak mengetahui ilmunya."

Kiat Ke tiga;

Jangan terburu-buru, karena syetan merasuk ke dalam jiwa manusia bersama dengan sifat terburu-buru. Hendaknya kita cermat dan telaten di dalam segenap urusan. Terutama ketika menghukumi suatu perkara, jangan menghukumi sebelum benar-benar kita ketahui hakikat atau duduk persoalannya, sebelum kita ketahui bagaimana hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ukuran kebenaran dan kesalahan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kiat ke empat;

Jangan sampai ada rasa sombong dalam hati, sehingga menghalangi kita untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu yang tidak kita ketahui. Berhati-hatilah dari bisikan setan yang mengatakan misalnya, "Kamu adalah seorang thalib ilmu atau ustadz yang mampu ini dan itu, di sisimu ada banyak kitab, karya-karya ulama, dan tulisan yang begitu banyak, maka tidak perlu kamu bertanya kepada orang lain lagi." Jika ada bisikan seperti ini, maka bacalah ta'awudz dan selalu ingat firman Allah subhanahu wata’ala,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43)

Kiat ke lima;

Berusaha semaksimal mungkin mencari ilmu kepada ahlinya, belajarlah al-Qur'an kepada qurra' (ahli baca al-Qur'an), belajar tafsir kepada mufassir (ahli tafsir), belajar hadits kepada ahli hadits, belajar fiqih kepada para fuqaha' dan seterusnya. Jika tidak ditemukan pakar yang ahli dalam masing-masing bidang, maka carilah seorang yang benar-benar kibar (senior) dalam ilmu agama secara umum, sebagai bekal dasar. Adapun jika ingin mempelajari ilmu secara lebih luas dan mendalam, maka harus kepada orang yang ahli di bidangnya.

Imam Malik rahimahullah berkata, "Setiap ilmu harus ditanyakan kepada ahlinya." (Barnamij 'amali lilmutafaqqihin, Dr. Abdul Aziz al-Qari' hal 46, 48). Di dalam kitab "Hilyah Thalib al-'Ilm," karangan Dr. Syaikh Bakar Abu Zaid disebutkan, "Barang siapa yang memasuki (mempelajari) ilmu tanpa syaikh (guru), maka dia akan keluar dengan tanpa membawa ilmu." Dikatakan pula, "Barang siapa memasuki suatu ilmu sendirian, maka akan keluar sendirian pula."

Kiat ke enam;

Siapa yang tidak menguasai Ushul (pokok dan kaidah ilmu), maka tidak akan sampai pada tujuan. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang penuntut ilmu mengetahui masalah pokok (ushul) dalam setiap bidang ilmu. Yaitu dengan memahami dan menghafalkan kaidah-kaidah pokok tersebut melalui seorang syaikh atau guru yang berkompeten di bidangnya, jangan memahaminya secara otodidak (sendirian). Selayaknya jangan menyibukkan diri dengan masalah yang lebih luas dan panjang serta beraneka ragam sebelum benar-benar menguasai kaidah-kaidah atau masalah yang pokok ini.

Kiat ke tujuh;

Jangan berpindah dari pembahasan yang lebih ringkas ke yang lainnya tanpa ada hal yang mengharuskan untuk itu.

Kiat ke delapan;

Berusaha membuat ringkasan materi atau pelajaran yang dapat diambil dari sebuah pembahasan, baik yang disampaikan para masyayikh (guru) atau ketika ada masalah penting yang terlintas pada saat kita membaca buku. Di antara caranya adalah dengan membuat catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote), atau menulisnya di dalam buku tersendiri agar lebih lengkap dan dapat juga dengan sistim kartu, dengan menuliskan judul pembahasan pada bagian atasnya.

Kiat ke sembilan;

Terus berusaha menjaga ilmu tersebut dari waktu ke waktu, karena tanpa adanya penjagaan terhadapnya, maka ilmu tersebut akan hilang atau terlupakan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya perumpamaan penghafal al-Qur'an adalah seperti pemilik unta yang terikat. Jika dia terus menjaganya, maka unta tersebut akan tetap dia miliki, namun jika dia melepaskannya, maka unta itu akan pergi."

Al Imam Ibnu Abdil Barr tatkala mengomentari hadits ini beliau mengatakan, "Apabila al-Qur'an yang dimudahkan untuk diingat akan hilang jika tidak dijaga, maka bagaimana pendapatmu tentang ilmu-ilmu lainnya yang harus dijaga?"

Kiat ke sepuluh;

Jangan ketinggalan mempelajari kitab-kitab yang berisikan tentang metode pangambilan dalil (istidlal), cara pemahaman yang mendalam tentang alasan atau sebab dari suatu kesimpulan hukum serta menyentuh pada pokok dan rahasia permasalahan. Di antara ulama yang menempuh metode ini dalam tulisannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Hafidz Ibnu Abdil Barr, al-Hafidz Ibnu Qudamah, juga Imam adz-Dzahabi, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Rajab, Imam Ibnu Hajar, Imam asy-Syaukani dan selain mereka.

Kiat ke sebelas;

Jangan sampai mengambil pelajaran dari suatu kitab sebelum kita mengetahui makna istilah dan kalimat yang digunakan oleh penulisnya. Biasanya istilah tersebut disinggung terlebih dahulu di dalam mukaddimah atau pengantar, maka hendaklah memulai membaca kitab dari mukaddimah lebih dahulu.

Kiat ke dua belas;

Jagalah hati agar jangan sampai seperti spon (busa) atau bunga karang, yang menyerap cairan apa saja yang ada, tanpa memilih dan memilah antara yang satu dengan yang lain. Hendaknya anda jauhi segala macam syubhat yang berasal dari diri sendiri atau dari orang lain, karena syubhat adalah kekacauan sedangkan hati manusia sangatlah lemah dan mudah berubah. Dan kebanyakan orang yang melemparkan syubhat adalah para mubtadi'ah (ahli bid'ah), maka hendaklah kita semua berhati-hati terhadap mereka.

Kiat ke tiga belas;

Bersungguh-sungguh di dalam memilih buku, jangan sembarangan membeli buku sebelum kita yakin penulisnya lurus dan terpercaya dalam ilmunya.

Kiat ke empat belas;

Hendaklah pandai-pandai membagi waktu dalam belajar, yaitu dengan menyediakan porsi waktu tersendiri untuk masing-masing kegiatan belajar seperti kapan sebaiknya menghafal, kapan waktu membaca, menghadiri durus (ta'lim) dan lain-lain. Mengenai pembagian waktu belajar ini, al-Imam Ibnul Jama'ah al-Kinani berkata, "Waktu paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur (menjelang Subuh-red), waktu terbaik untuk membahas sebuah masalah adalah pagi, waktu terbaik untuk menulis adalah siang dan waktu terbaik untuk muthala'ah dan mengulang pelajaran adalah malam hari.” Kemudian beliau juga menukil ucapan al-Khathib al-Baghdadi yang mengatakan, "Sebaik-baik tempat untuk menghafal adalah di dalam kamar dan tempat-tempat yang jauh dari keramaian."

Kiat ke lima belas;

Jika ada masalah atau kesulitan ketika membaca sebuah buku, maka hendaknya bertanya kepada siapa saja yang dipandang tsiqah (terpercaya) ilmu dan sikap wara'nya.

Kiat ke enam belas;

Mengenai urutan kitab apa yang harus dibaca dalam masing masing disiplin ilmu, maka ini merupakan salah satu hal yang banyak diperbincangkan para ahli ilmu, mereka biasanya membedakan antara yang bersifat fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Mereka juga mengklasifikasikan ilmu menjadi ushul (pokok) dan furu' (cabang) dan masing masing ada alatnya tersendiri.

Untuk lebih jelasnya, bagi kaum muslimin yang mampu membaca kitab berbahasa Arab maka penulis menganjurkan untuk merujuk ke kitab "Hilyah Thalib al-Ilm," oleh Dr. Syaikh Bakar Abu Zaid, "Barnamij Ilmi Lilmutafaqqihin," oleh Dr. Abdul Aziz al-Qari' dan risalah "Rabbaniyyah at-Ta'lim," oleh Dr. Abdullah Yusuf al-Hasan.

Dialihbahasakan oleh Khalif Muttaqin dari kitab “al-faudlawiyah fi hayatina,” sub bab Hatta la nakuna faudlawiyan fi thalab al ilmi Adil bin Muhammad al -Abdil ‘Ali hal 31-36, dengan beberapa ringkasan.

KIAT MENJADI UNGGUL

Alloh Ajja wa Jalla adalah Dzat yang Maha Sempurna segala-gala-Nya, Maha luas tak terbatas pengetahuan-Nya. Sangat pasti hanya Alloh-lah Dzat yang Maha Memiliki segala keagungan, Kemuliaan dan Keunggulan. Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai oleh-Nya potensi dan bakat untuk unggul. Lebih beruntung lagi bagi siapapun yang di karuniai kemampuan untuk mengoptimalkan potensi dan bakatnya sehingga menjadi manusia unggul dan prestatif. Namun, betapa banyak pula orang yang cukup potensial tetapi tidak menjadi unggul. Betapa banyak orang yang memiliki bakat terpendam dan tetap “terpendam”, tidak tergali karena tidak tahu ilmu untuk mengoptimalkannya.Padahal tiap orang pada dasarnya memiliki potensi untuk unggul, termasuk kita. Berikut ini beberapa kiat menjadi pribadi unggul dan prestatif.

1. PERCAYA DIRI
Bagi orang yang ingin memacu percepatan dirinya, maka tidak bisa tidak waktu adalah kuncinya. Sebab sesungguhnya waktu adalah hidup kita. Orang bodoh adalah orang yang diberi modal hidup berupa waktu kemudian ia sia-siakan. Ada tiga kelompok orang yang menggunakan waktu, yaitu : Orang sukses, yaitu orang yang menggunakan waktu dengan optimal, salah satu cirinya adalah ia melakukan sesuatu hal yang tidak di minati oleh orang gagal.Orang malang, yaitu orang yang hari-harinya diisi dengan kekecewaan dan selalu memulai sesuatu pada keesokan harinya.Orang hebat, yaitu orang yang bersedia melakukan sesuatu sekarang juga. Bagi orang hebat tidak ada hari esok, dia berkata bahwa membuang waktu bukan saja kejahatan, tetapi suatu pembunuhan yang kejam.Karena mengetahui dan menyadari akan pentingnya waktu berarti memahami pula nilai hidup dan kehidupan ini. Oleh karena itu, yang pertama dan utama yang harus dilakukan untuk menjadi pribadi unggul adalah pantang menyia-nyiakan waktu. Kita tidak boleh melakukan sesuatu dengan sia-sia, sebab semua yang dilakukan sangat pasti memakan waktu, sedangkan waktu itu sangat berharga. Tidak mungkin kita melakukan yang sia-sia (mubadzir), bukankah perbuatan mubadzir itu adalah perbuatan syetan, Alloh SWT berfirman : “sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan, dan syetan itu sangat ingkar pada Tuhan-Nya”. (QS. Al Israa (17:27)

Lihatlah hidup keseharian kita, seringkali secara sadar atau tidak telah melalaikan waktu. Anehnya tidak jarang setengah mati kita menjaga harta kita supaya tidak hilang dicuri orang, tapi jarang menjaga waktu agar tidak dicuri dengan hal-hal yang sia-sia. Berapa banyak kita ngobrol sia-sia yang berarti dia telah mencuri waktu kita. Berapa banya waktu kita untuk nonton TV yang tidak semua acaranya mendidik kita agar lebih berhasil guna dan berdaya guna, dan TV telah mencuri waktu kita. Maka mulai sekarang pantanglah kita menyia-nyiakan waktu tanpa faedah. Alloh berfirman: “Sesungguhnya berintunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusu dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. Artinya sholat yang terpelihara mutunya, khusu namanya, yang dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar menjaga kualitas mutu sholatnya, itulah yang beruntung.Jadi pastikan waktu yang digunakan hanya diisi untuk memacu dan menempa kemampuan diri. Artinya setiap jam, setiap hari, setiap minggu yang kita lalui harus selalu benar-benar full manfaat dan lebih yang orang lain lakukan.

2.SISTEM YANG KONDUSIF
Sistem yang kita masuki itu akan sangat mempengaruhi percepatan diri kita, salah dalam memilih sistem, memilih lingkungan maka akibatnyapun akan segera kita rasakan. Maka barang siapa ingin memiliki percepatan diri yang baik untuk menjadi unggul, maka harus bisa mencari sistem dan lingkungan atau teman-teman yang berkualitas. Sistem yang memiliki keunggulan dari standar biasa, lingkungan yang memuliakan perilaku yang terjaga, teman yang memiliki kehalusan budi pekerti yang tinggi. Apa bila kita memasuki dalam sistem seperti ini, maka imbasnya pada diri kita jua. Percepatan kita akan terkontrol untuk menjadi unggul dan bermutu. Lembaga atau organisasi yang memiliki sistem yang unggul, banyak yang telah membuktikan dirinya tampil dalam kehidupan bermasyarakat lebih maju dan lebih bermutu.
Maka kalau ingin memiliki pribadi yang unggul, tangguh dan prestatif, pastikan untuk tidak salah dalam memilih pergaulan. Sebab salah dalam memilih pergaulan lingkungan, salah dalam memilih sistem, berarti telah salah dalam memilih kesuksesan. Ingatlah pepatah “Bergaul dengan tukang minyak wangi akan kebawa wangi, bergaul dengan pandai besi akan kebawa bau bakaran”.

3. BERDAYA SAING POSITIF
Dalam setiap kesempatan dan lingkungan, kita harus memiliki naluri berdaya saing positif. Kalau tidak, pasti kita akan berat menghadapi hidup ini. Majalah “Panji” pernah memberitakan bahwa beberapa tahun lagi Universitas-Universitas luar negri, seperti Oxford, Harvard, UCLA, Stanford dan Universitas beken lainya, akan masuk ke Indonesia. Kenyataan ini akan membuat miris beberapa perguruan tinggi. Sikap ini nampaknya dipicu oleh kenyataan adanya kesenjangan kualitas Perguruan Tinggi dalam negri dan Perguruan Tinggi luar negri.

Bagi Perguruan Tinggi yang tidak memiliki mental berdaya saing positif, akan membuat mereka panik, kalang kabut karena takut kesaingan. Melihat kenyataan yang sama atau lebih darinya, maka akan dianggap sebuah ancaman yang seolah-olah akan menghancurkanya.Namun bagi yang memiliki mental bersaing yang positif, hal itu justru akan di tanggapi dengan senang hati, seolah-olah dia mendapatkan sparing partner yang akan memacunya lebih berkualitas lagi. Sebab mereka yang tidak diberi pesaing, kadang-kadang tidak membuat mereka maju.

Pepatah mengatakan bahwa “lebih baik menjadi juara dua di antara juara umum, dari pada jadi juara satu dari yang lemah, atau juara utama dari yang bodoh”. Karena yang terpenting bukan jadi juaranya, tapi bagai mana caranya kita memompa kemampuan optimal dalam menjalani kehidupan. Lebih baik juara dua di antara juara dari pada juara umum di antara yang kalah. Sahabat-sahabat sekalian, kita janganlah sebel jika melihat orang lain lebih baik dari kita, karena orang-orang yang suka iri hati, sebel dongkol kepada prestasi orang lain, biasanya tidak akan unggul. Berani bersaing secara sehat dan positif adalah kunci menuju gerbang kesuksesan.

4. MAMPU BERSINERGI (BERJAMAAH).
Steven R. Covey, mencantumkan sinergi sebagai salah satu dari tujuh kebiasaan yang efektif. Dalam bersinergi atau berjamaah akan tercermin perbedaan nilai tiap individu, yang kalau kita mampu mengelolanya akan melahirkan team work yang solid, dimana nilai hasilnya akan jauh lebih besar, lebih dahsyat atau lebih unggul dibandingkan kalau dilakukan sendiri-sendiri. Makin besar kekuatan sinerginya dalam setiap kali berinteraksi dengan yang lain, maka akan semakin besar pula kemampuan yang di hasilkan , itulah diantara kunci menjadi unggul. Jadi kalau ingin menjadi unggul, nikmati hidup berjamaah, karena seorang yang pintar jika bertemu orang yang pintar akan bertambah pintar. Untuk itu berjamaahlah, tapi berjamaah yang positif, karena berjamaah itu ada kalanya saling melemahkan dan saling melumpuhkan. Maka, lakukanlah branchmarking (studi banding) ke institusi lain sebagai perbandingan, dan ini sangat penting. Hal ini agar pemikiran kita terus berkembang tidak mandek atau di situ-situ terus.. Oleh karena itu jangan pernah meremehkan orang lain, setiap bertemu orang harus jadi sarana perubahan dan penambahan wawasan kita. Jangan merasa pintar sendiri, merasa yang terbaik, yang terbagus, maka sebenarnya kita telah menjadi yang terbloon.

5. MANAJEMEN KALBU
Tidak bisa tidak, bagi pribadi yang ingin unggul dan prestatif maka dia harus mampu mengendalikan suasana hatinya, karena orang itu tergantung suasana hatinya. Kalau hatinya merasa gembira, maka dia gembira. Kalau hatinya sedang sedih maka sedih pula dirinya, kalau hatinya lagi dongkol, ngambek , maka seperti itulah dirinya. Semua tergantung pada suasana hatinya, maka bagi orang yang tidak mampu mengendalikan/mengelola hatinya akan merasa repot dalam menghadapi hidup ini. Rosululloh SAW bersabda “ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, tetapi bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama hati”,(HR. Bukhari – Muslim).

Oleh : K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

Kiat Bergaul Yang Baik

Ikhlash Kunci Sukses dalam Bergaul

Bergaul dengan orang lain hendaknya didasari dengan keinginan dan niat yang benar. Kecintaan dan kebencian terhadap mereka; Melakukan sesuatu atau membiarkannya; Dan berbuat sesuatu atau tidak, jika dilakukan karena Allah subhanahu wata’ala dan di atas keyakinan menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala, maka kita akan memperoleh kebahagiaan ketika bergaul dengan siapa saja.

Berkaitan dengan ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menyebutkan dengan ungapan yang indah "Kebahagiaan dalam bergaul dengan orang akan diraih jika engkau bergaul dengan mereka karena Allah, engkau mengharapkan ridha Allah dan tidak mengharapkan ridha mereka, engkau takut kepada Allah dan tidak takut kepada mereka, engkau berbuat baik kepada mereka karena mengharap pahala dari Allah dan tidak balasan dari mereka, engkau tidak menzhalimi mereka karena takut kepada Allah dan tidak takut kepada mereka. Sebagaimana disebutkan juga di dalam sebuah atsar, "Berharaplah pahala kepada Allah dalam urusan manusia, dan jangan berharap balasan kepada manusia dalam urusan Allah. Takutlah pada Allah dalam urusan manusia dan jangan takut kepada manusia dalam urusan Allah."

Maksudnya adalah,”Janganlah engkau melakukan suatu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala karena mereka, menginginkan pujian mereka, dan karena takut kepada mereka, namun berharaplah balasan dari Allah. Dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, baik dalam hal yang engkau kerjakan atau yang engkau tinggalkan. Bahkan kerjakan apa saja yang telah diperintah kan kepadamu meskipun mereka membencinya.”

Ketika Bertemu dengan Orang

Seseorang akan sering bertemu dengan orang lain, baik di masjid, di jalan, di tempat kerja, di rumah atau tempat-tempat lainnya. Bagaimana seharusnya sikap dia manakala berjumpa dengan seseorang? Para Salaf telah memberikan suri teladan yang sangat agung berkenaan dengan hal ini.

Abdur Rahman bin Mahdi berkata, "Disebutkan bahwa jika seseorang bertemu dengan orang lain yang lebih tinggi ilmunya, maka itu adalah hari ghanimah baginya (untuk mengambil ilmunya, red), dan jika bertemu dengan orang yang semisal (setingkat), maka ia belajar bersama dan belajar juga darinya, jika bertemu dengan yang di bawahnya, maka ia bersikap tawadhu' (rendah hati) dan mengajarinya. (Lihat, Siyar A’lam an-Nubala’ 9/203)

Menyikapi Orang yang Keliru dalam Mencari Kebenaran.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya;
“(Mereka berdo’a), "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. 2:286)

Syaikhul Islam berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mencari kebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagiannya, maka Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni kesalahannya, sebagai realisasi dari do’a yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk Nabi-Nya dan orang-orang mukmin, ketika mereka mengatakan, artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (QS. 2:286) (Lihat, Dar’u Ta’arudl Bainal Aqli wan Naqli, 2/103)

Maka apabila ada seseorang yang telah berijtihad untuk mencari kebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka dia diampuni berdasarkan ayat tersebut di atas. Demikian juga jika seorang alim telah mengerahkan kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagian masalah i'tiqad (keyakinan), maka dia tidak divonis dengan bid'ah dan tidak dihajr (dikucilkan/ditinggalkan) disebabkan kesalahannya. Meskipun ucapan atau pendapatnya adalah ucapan yang bid'ah, namun itu tidak mengharuskan dia divonis mubtadi' (ahli bid'ah). Sebagaimana terhadap ucapan kufur, tidak mengharuskan pengucapnya divonis kafir, maka demikian juga tidak mengharuskan divonis sebagai pelaku bid'ah bagi orang yang mengucapkan perkataan bid'ah, kecuali jika syarat-syarat telah terpenuhi dan tidak ada lagi faktor penghalang jatuhnya vonis tersebut. (Lihat al-Fatawa 28/233-234)

Oleh karena itu seorang ulama yang sudah dikenal kebaikannya dan kesungguhannya di dalam mencari kebenaran, kemudian dia keliru dalam satu masalah tertentu dan terjerumus dalam satu kebid'ahan, maka tidak boleh kita katakan sebagai pelaku bid'ah. Kita jelaskan bahwa beliau salah dalam hal tersebut, atau dalam masalah itu dia mencocoki firqah fulaniyah (kelompok tertentu), namun dia bukan golongan mereka dan juga tidak memegang keyakinan mereka .

Namun demikian, meskipun dia dimaafkan, karena telah berusaha maksimal mencari yang benar, kita tetap mengatakan bahwa pendapatnya adalah keliru atau bid'ah, lalu kita harus meninggalkan pendapat tersebut dan mengambil pendapat para ulama lainnya yang lebih selamat. Berbeda halnya dengan orang yang mengambil agamanya dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang tersebut adalah seorang mubtadi' (pelaku bid’ah) dalam pengambilan sumber, dalam ucapan dan i’tiqad (kayakinan).

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, "Kami mencintai sunnah dan ahlinya, kami mencintai orang alim dalam hal yang mengikuti sunnah dan perkara-perkara yang terpuji. Dan kami tidak mencintai segala sesuatu yang diada-adakan berdasarkan ta'wil yang salah, dan penilaian adalah dengan banyaknya kebaikan." (Lihat, Siyar a’lam an Nubala’ 20/46)

Menggunjing Orang Lain adalah Penyakit dan Menyebut Allah adalah Obat

Ibnu Aun berkata, "Menyebut aib orang lain adalah penyakit, sedangkan menyebut Allah subhanahu wata’ala adalah obat."

Imam Adz-Dzahabi memberikan komentar, "Benarlah demi Allah, namun sungguh mengherankan karena kebodohan kita, mangapa di antara kita meninggalkan obat dan lebih asyik dengan penyakit? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah befirman, artinya,
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 152)
“Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaan nya dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. 29:45)
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. 13:28) (Siyar a’lam an-Nubala’6/369)

Dan juga amat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita agar menjaga lisan serta peringatan agar tidak mengumbarnya dengan bebas tanpa kendali. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50:18)

Dan firman Allah subhanahu wata’ala yang lain, artinya,
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (QS. 18:49)

Maka orang yang berakal akan selalu memerangi nafsunya, dan selalu memikirkan ayat-ayat dan hadits tentang penjagaan lisan dari kesia-siaan, senantiasa mengutamakan dzikir sehingga dia akan terus disibukkan dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Memberikan Penghargaan kepada yang Berhak Mendapatkannya

Pilar ini tidak jauh dengan pilar keadilan dan obyektif ketika menyebut kan orang lain, akan tetapi yang dimaksudkan di sini adalah terbatas pada hal hal yang menjadi kekhususan dia dari orang selainnya. Karena di antara orang ada yang menonjol dalam ilmunya, ada pula dalam jihadnya, dalam dakwah dan selainnya.

Di antara contohnya adalah, Ubay bin Ka'ab adalah seorang ahli dalam al-Qur’an, ahli dalam tafsir yaitu Ibnu Abbas, ahli memutuskan perkara adalah Ali bin Abi Thalib, orang kepercayaan adalah Abu Ubaidah, ahli penunggang kuda adalah Khalid bin Walid ridhwanullah ‘alaihim, ahli dalam ilmu fiqih adalah Imam Malik, ahli dalam ilmu hadits adalah Ahmad bin Hanbal, ahli ibadah adalah Al-Fudail bin Iyadh, ahli Nahwu adalah Sibawaih rahimahumullah, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.

Sumber: “Manhaj Ahlus Sunnah fin-Naqdi wal Hukmi ‘alal Akharin”, Hisyam bin Ismail ash-Shiini, hal 67-74 dengan meringkas. (Ibnu Djawari)

Arti Sebuah Nama

Memberi nama anak, di dalam Islam mendapat perhatian yang cukup besar. Karena nama merupakan identitas diri dan sarana untuk saling memahami dalam berkomunikasi dengan orang lain. Nama, bagi seorang bayi yang dilahirkan merupakan hiasan, tumpuan dan sekaligus syi'ar yang dengannya ia dipangggil ketika di dunia maupun di akhirat. Rasulullah saw sering mengganti nama seseorang yang baru masuk Islam, jika sebelumnya nama orang tersebut tidak baik di dalam pandangan Islam.

Beberapa masalah Seputar Nama

Pentingnya nama dan pengaruhnya terhadap anak, orang tua dan ummat.
Nama, yang dalam bahasa Arabnya adalah ism, menurut sebagian orang merupakan bentukan dari kata wasm yang berarti tanda ('alamah). Maka dengan nama seseorang dapat diketahui dan dia menjadi tanda bagi yang bersangkutan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. 19:7)
Sebagian yang lain mengatakan bahwa ia berasal dari kata as sumuw yang berarti tinggi. Maka nama adalah merupakan tanda yang menggambarkan ketinggian atau kaluhuran seseorang yang memiliki nama tersebut.

Nama adalah sesuatu yang pertama didapat oleh seorang bayi yang terlahir, merupakan ciri spesifik yang membedakan dia dengan orang lain. Nama adalah yang pertama dilakukan seorang ayah terhadap bayi sebagai tanda pewaris dan penerus regenerasi. Nama juga merupakan sarana pertama bagi manusia untuk terjun di kancah masyarakat.

Nama meskipun hanya sesuatu yang bersifat maknawi tetapi memiliki nilai yang amat tinggi melebihi materi. Sehingga orang akan lebih menjaga nama daripada hartanya, jangan sampai namanya direndahkan, ditentang atau dimusuhi.

Islam sangat menganjurkan agar memberi nama anak dengan nama yang baik, karena pada umumnya nama memiliki pengaruh terhadap seseorang yang memilikinya, dalam baik ataupun buruknya. Dia merupakan cerminan pemikiran orang tua, apakah dia seorang yang selamat dan mengikuti petunjuk Nabi saw atau memiliki pemikiran- pemikiran yang tercemar dan bahkan menyimpang.

Nama yang baik akan memberikan kepuasan bagi seorang anak. Ketika anak memasuki usia banyak bertanya (antara 5 hingga 7 tahun) terkadang mereka melontarkan pertanyaan, "Mengapa ayah memberi nama aku demikian? Apa artinya?

Alangkah bahagianya sang ayah kalau dia memberi nama yang baik, sehingga dia dapat memberikan jawaban yang menyenangkan buat sang anak. Namun kalau ternyata nama yang dia berikan adalah buruk maka terbukalah kebodohan dan kedangkalan pemikirannya di hadapan sang anak. Dan nama baik yang diberikan kepada anak merupakan salah satu pendidikan paling dini untuk mereka. Ketika seorang anak tahu bahwa namanya adalah sesuatu yang mulia dan tinggi, maka dia akan bercita-cita setinggi dan semulia namanya sebagaimana yang diharapkan oleh orang tua.

Maka ada benarnya ungkapan sebagian orang, “Katakan siapa namamu, maka aku akan tahu siapa ayahmu.” Artinya dengan mengetahui nama seorang anak maka dapat diterka bagaimana sifat, pemikiran dan gaya hidup orang tuanya.

Waktu Pemberian Nama

Ada tiga waktu yang disunnahkan dalam memberikan nama anak, yaitu:

Memberi nama bayi pada saat dia dilahirkan.
Memberinya nama dalam masa tiga hari setelah kelahirannya.
Memberi nama pada hari ke tujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini masuk dalam kategori tanawwu' (variasi), sehingga kita dapat memilih mana saja yang kita kehendaki, alhamdulillah.

Memberi Nama Adalah Hak Ayah

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang lebih berhak memberi nama seorang anak adalah ayah. Jika ada perbedaan atau perselisihan antara ayah dengan ibu maka yang berlaku adalah panamaan dari ayah. Seorang ibu jika kurang setuju hendaknya mengajak musyawarah dengan baik, dengan penuh kelembutan dan jalinan kasih.
Boleh juga minta dicarikan nama kepada orang yang terpercaya dalam agamanya (shalih) agar memilihkan nama yang sesuai dengan sunnah. Banyak diantara shahabat yang menghadap Nabi Shalallaahu alaihi wasalam serta meminta beliau agar memberi nama untuk anak-anak mereka.

Anak Dinisbatkan Kepada Ayah

Sebagaimana pemberian nama adalah hak ayah maka penisbatan anak juga kepada ayahnya. Dia dipanggil dengan menisbatkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, misalkan fulan bin fulan bukan bin fulanah, kalau anak perempuan fulanah binti fulan, demikian pula dalam panggilan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,artiya,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (al-Ahzab:5)

Memilih Nama Yang Baik

Seorang ayah wajib memilihkan nama yang baik untuk anaknya, dari segi lafal maupun maknanya, serta masih dalam koridor syara'. Diantara ciri nama yang baik adalah: Indah, sejuk di lisan, enak didengar, mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama seperti nama asing yang tak jelas, tasyabbuh dengan orang kafir serta segala yang memiliki arti buruk.

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, "Merupakan hak seorang anak terhadap ayahnya adalah memilihkan untuknya ibu yang baik, memberinya nama yang baik dan mewariskan kepadanya adab (pendidikan) yang baik."

Tingkatan Nama Yang Dicintai

Tingkatan nama yang dicintai Allah serta dibolehkan dalam Islam adalah sebagai berikut:
Abdullah dan Abdurrahman, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallaahu anhu yang diriwayatkan oleh imam Muslim. Dan tak kurang dari tiga ratus shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang memiliki nama Abdullah.

Abdun (penghambaan)yang disambungkan dengan Asam’ul Husna selain yang tersebut di atas, seperti Abdul Aziz, Abdul Malik, Abdul Majid dan sebagainya.

Nama-nama nabi dan rasul, karena mereka adalah penghulu bagi umat manusia dan merupakan orang-orang mulia serta terpilih. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam juga pernah memberi nama sebagian shahabat dengan nama para nabi sebelum beliau.

Nama orang-orang shalih, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari al-Mughirah bin Syu'bah Radhiallaahu anha bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa memberi nama dengan nama para nabi dan orang shalih sebelum beliau. Termasuk pemuka shalihin adalah para shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, Tabi'in dan para imam kaum muslimin.

Segala nama yang mencerminkan kejujuran dan kebaikan manusia.
Nama-Nama Yang Dilarang

Diantara-nama-nama yang dilarang adalah sebagai berikut:
Segala nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Ka'bah, Abdusy Syamsi (hamba matahari), Abdul Husain dan lain-lain.

Memberi nama dengan nama-nama Allah, seperti Arrahman, al Khaliq, dan semisalnya.

Nama-nama a'jam yang berasal dari orang kafir dan merupakan ciri atau kekhususan mereka. Ini banyak menimpa kaum muslimin saat ini, mereka banyak mengimpor nama-nama kafir dari Eropa dan Amerika seperti Petrus,George,Diana,Suzan dan sebagainya.

Nama-nama patung atau berhala yang disembah selain Allah seperti Latta, Uzza, Hubal, (Brahma, Wisnu, Syiwa-pen).

Nama klaim dusta, mengandung unsur kebohongan yang berlebihan, mentazkiyah (menyucikan) diri . Diantara contoh nama yang masuk kategori ini adalah Malikul Amlak (Muluk), Sulthanus Shalatin, Syahinsyah, yang semuanya memiliki arti hampir sama yaitu raja diraja. Juga nama Hakimul Hukkam yang artinya hakim dari segala hakim.

Nama-nama setan dan iblis, hal ini sebagimana yang dikatakan Imam Ibnul Qayim.
Nama-Nama Yang Makruh
Nama yang membuat lari dan ngeri hati seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Khanjar (pisau belati). Juga nama-nama yang memiliki makna penyakit seperti Suham (penyakit unta), Suda'(pusing), Dumal (bisul).

Nama-nama yang mengundang syahwat, terutama bagi para wanita, seperti Fatin atau Fitnah (dengan kecantikannya), Syadiyah (penyanyi dengan suara merdu).

Nama-nama orang fasiq, artis atau bintang film, penyanyi dan pemusik.

Nama yang menunjukkan makna dosa atau maksiat seperti zhalim, sariq (pencuri). Juga nama yang tidak diminati masyarakat karena buruk, seperti Kannaz (penumpuk harta), Bakhil dan semisalnya.

Nama-nama binatang yang dikenal buruk seperti Khimar (keledai), Kalb (anjing),Hanasy (lalat),Qunfudz (landak) dan lain-lain.

Nama-nama dobel seperti Ahmad Muhammad, Said Ahmad dan semisalnya, karena -dimasyarkat Arab- menjadikan bingung disebabkan adanya unsur iltibas (ketidakjelasan).

Sebagian ulama juga membenci pemberian nama dengan nama-nama malaikat, seperti Jibril, Mikail, Israfil dan lain-lain.

Sebagian ulama juga memakruhkan pemberian nama dengan surat-surat dari al-Qur'an seperti Thaha, Hamim, Yasin.
Adapun yang tersebar di masyarAkat bahwa Thaha atau Yasin adalah nama lain untuk Nabi Muhammad saw, maka itu sama sekali tidak benar. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah di dalam kitab “Tuhfatul Maudud” hal 109.
Sudah saatnya kaum muslimin menyadari pentingnya nama yang baik dan islami. Karena nama-nama yang baik insya Allah akan memberikan pengaruh yang baik pula bagi pribadi, keluarga dan masyarakat. Tidak ada salahnya jika seseorang yang terlanjur memiliki nama atau memberi nama yang buruk, nama kufur dan nama syirik, segera menggantinya dengan nama-nama yang dianjurkan atau dibolehkan dalam Islam. Mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik merupakan sunnah yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. Wallahu a’lam.

Diringkas dan disadur dari kitab “Tasmiyatul maulud” Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid.
Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...