Nabi Muhammad SAW, dalam suatu kesempatan, pernah bersabda kepada Abu Dzar, "Sesungguhnya kekuasaan itu adalah amanah dan kekuasaan itu di hari kiamat kelak akan menjadi sumber kesedihan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengar benar dan menyampaikan kepada mereka yang semestinya," (HR Muslim).
Kita juga diberi teladan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat mendapati salah seorang warganya yang kelaparan merebus batu sekadar untuk menghibur anak-anaknya agar bisa tidur dan melupakan rasa lapar mereka. Lalu, Khalifah Umar memanggul sendiri gandum yang akan diberikan kepada wanita miskin itu. Tindakan memanggul sendiri itu, menurutnya, harus ia lakukan, sebab jika tidak ia akan diberi beban yang lebih besar di hari akhir kelak.
Apa yang dilakukan Umar memang sulit dibayangkan untuk saat ini -- terlebih membayangkan seorang penguasa dalam strata apa pun menggunakan tangannya sendiri guna memenuhi tanggung jawabnya. Ketika beberapa kali menyaksikan tayangan stasiun televisi mengenai kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB), kita berkeyakinan, masalah tersebut akan cepat teratasi jika para pemimpin di daerah itu meresapi sikap egaliter Umar bin Khattab.
Selaku pemimpin, semestinya selain merasa bertanggung jawab kepada rakyat, juga harus merasa bahwa hal itu juga merupakan kewajiban agama yang akan berakibat kepada kehidupan di akhirat kelak. Memang, jika satu masalah dipandang dari dua sudut kepentingan berbeda akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula seperti kasus di NTB. Oleh pers kasus itu dikatakan sebagai busung lapar, tapi oleh Gubernur NTB dikatakan sebagai kasus gizi buruk. Memang, secara retoris itu sah-sah saja. Akan tetapi, menurut ilmu pangan dan gizi, perlu diingat bahwa busung lapar atau gizi buruk sama-sama bermuara pada satu hal yaitu tidak tersedianya pangan yang cukup. Dengan demikian, menurut saya, baik busung lapar maupun gizi buruk sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar, karena secara substansial sama-sama mengandung makna minimnya asupan.
Dalam menyikapi hal itu, sudah semestinya penguasa tidak mengidentikkan kasus busung lapar dengan kondisi tidak bisa makan sama sekali, karena untuk kasus seperti itu sukar dibayangkan di Indonesia yang masih mempunyai banyak tumbuh-tumbuhan di alam bebas. Hanya saja, perlu diingat apakah yang mereka makan masih layak bagi seorang manusia? Inilah persoalan yang mesti dicermati oleh penguasa.
Kasus di NTB harus membuat kita semua, terutama penguasa, untuk berintrospeksi serta merenungi hadis Nabi SAW seperti disebutkan di awal tulisan ini. Bukan dengan menyibukkan diri memberi pernyataan bahwa rakyatnya masih bisa makan. Sebab, antara busung lapar dan gizi buruk sesungguhnya tidak ada batas yang jelas.
Jumat, 29 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.