Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Minggu, 05 Desember 2010

Filsafat Dalam Tinjauan Al Qur’an

Oleh : Incawati
Berbicara tentang filsafat adalah hal yang sangat menarik. Kenapa? Karena terkadang kita menganggap bahwa berfilsafat adalah sesuatu yang elit yang menjadi karakteristik orang-orang terdidik termasuk mahasiswa. Tapi, betulkah hal itu patut untuk kita banggakan?


Pengertian dan Tujuan Filsafat

Filsafat berasal dari dua kata, filo berarti cinta dan sopia berarti bijaksana/ mendalam. Secara sederhana filsafat berarti sebuah keinginan untuk mengetahui kebenaran. Atau dengan kata lain berfilsafat berarti berpikir secara mendalam. Kerangka berpikir filsafat dibingkai oleh epistimologi, untuk apa; antologi, positif dan sempurna; serta aksiologi, paradoks. Sedangkan objek kajian filsafat adalah alam, kehidupan dan manusia. Meskipun terkadang para filosof juga mengaku memfokuskan kajiannya terhadap sesuatu yang bersifat metafisik (sesuatu yang gaib) itu adalah sesuatu yang tidak murni berfilsafat. Karena metafisik itu bersifat non materil, tidak mampu diinderai, sedangkan tujuan filsafat yang sebenarnya adalah mencari hakikat kebenaran yang berlandaskan pemikiran. Atau jika kita ingin mengambil sampel cara berpikir filsafat adalah menggambarkan Tuhan berdasarkan ketidakmampuannya.
Unsur-Unsur Berpikir
1. Fakta
2. Indera
3. Otak
4. Informasi

Untuk mampu berpikir dalam taraf yang mendalam dan sistimatis, maka keempat hal di atas harus ada.

Tinjauan Sekilas Terhadap Perkembangan Filsafat

Jika kita menilik sejarah pertumbuhan filsafat di Yunani, akan kita ketahui bahwa sebelum datang masa berfilsafat, telah ada lebih dulu kepercayaan beragama, karena pengaruh perasaan tentang adanya “Yang Ada”. Homerus, penyair Yunani yang besar itu, telah menyairkan “peperangan-peperangan” di antara dewa-dewa. Tetapi mereka mengakui bahwasanya yang menjadi pusat dari seluruh dewa-dewa yang jumlahnya ribuan itu adalah dewa besar, yaitu Apollo.

Cara berpikir filsafat dirintis oleh Thales, yang hendak menyelediki asal usul segala yang ada dari segi kenyataannya. Dia akhirnya berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah air. Diikuti oleh Anaximander, yang mengatakan asal segala sesuatu ialah nous: yang tidak berkesudahan. Sedangkan Phitogoras mengatakan asal segala sesuatu adalah angka dan pokok segala angka adalah satu.
Tetapi filsafat alam itu kemudian dikembalikan oleh Socrates kepada filsafat diri. Setelah engkau menengadah ke langit, sekarang sudah masanya engkau menilik dirimu sendiri. Maka ilmu jiwa (psychology) akhirnya muncul dan ilmu etika. Murid Socrates, Plato menyempurnakan ajaran gurunya. Lalu timbul hasil penyelidikan tentang adanya Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tunggal, Penggerak dari seganya. Itulah Tuhan. Dari segi filsafat, bukan lagi dari segi kedongengan (mythology). Beliau menyatakan pendapat bahwa dibalik alam yang nyata ini, ada hakikat Yang Maha Tinggi. Aristoteles, murid Plato mempelopori filsafat karena ingin mengetahui hakikat daripada Yang Ada itu.

Maka berkembanglah tinjauan terhadap yang ada itu menurut filsafat, dari waktu ke waktu dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sampai akhirnya disambut oleh filsafat modern yang dirintis oleh Rene Descartes. Terjadilah pertikaian di antara ahli filsafat tentang Yang Ada, tentang asal segaa sesuatu, apakah semata benda atau semata nyawa atau gabungan dari keduanya. Timbul juga penyelidikan apakah akal dan fikiran itu? Apakah dia di luar dari otak, yaitu dua barang. Atau apakah dia bekas dari kerja otak. Dibicarakan pula tentang manusia. Apakah hidup itu. Apakah hidup hanya terdapat lantaran masih mengalirnya darah dalam tubuh, dan bila darah telah dingin, terhenti maka hidup telah berakhir. Sehingga dikatakan bahwa hidup itu adalah bekas dari panasnya darah?

Tidak ada jawaban yang pasti yang bisa disediakan oleh para filsuf itu dalam kaitannya dengan masalah-masalah di atas. Sebab ujung segala perjalanan pikiran itu akhirnya akan tertumbuk pada sebuah tebing yang tidak mampu lagi diseberangi oleh akal pikiran manusia.

Sejauh apa pun perjalanan akal, mesti ada ujungnya, harus ada perhentiannya. Diseberang yang sebelah sana tidaklah dapat dicapai lagi. Keputusan mesti diambil, tentang ada atau tidak ada. Memutuskan ada-nya semata-mata dengan pikiran manusia yang emah ini, harus menempuh berbagai kesulitan. Tetapi lebih sukar lagi memtuskan bahwa dia ‘tidak ada’.
Akhirnya apa jadinya filsafat itu?

Akhir filsafat itu tidak lain daripada mengumpulkan berbagai macam bentuk pikiran, hanya tentang dua soal, yaitu: ada atau tidak ada. Filsafat belum mampu mengemukakan soal lain, yang ketiga, yang di luar daripada ada atau tidak ada. Dan itu pun tidak mungkin. Itu sebabnya maka bagaimanapun kemajuan filsafat, dia hanya dapat berkembang pada soal itu saja.

Filsafat Dalam Tinjauan Al Qur’an

Al Qur’an mempunyai kerangka berpikir sendiri tentang apa itu akal, pikiran, hakikat kehidupan, manusia, apa lagi menjawab tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Al Qur’an tidak menafikan akal, tapi justeru memberi tempat terhormat terhadap akal

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya(Surah Al Isra:36)

Tapi keimanan dalam Al Qur’an tidaklah sama dengan cara filsafat memandang hal itu. Keimanan ala filsafat mempunyai prosedur sendiri yang dibingkai dengan kerangka berpikir ilmiah, yang mesti diawali dengan keragu-raguan, lalu diadakan observasi, memunculkan permasalahan, mengadakan uji coba, lalu ditarik kesimpulan. Kesimpulan inilah yang nantinya lahir sebagai sebuah teori yang pada akhirnya jika disepakati dapat dijadikan sebagai acuan tapi jika tidak maka dianggap sebagai kebenaran yang sifatnya relatif dan perlu diuji kembali kebenarannya.
Hal ini berbeda dengan konsep keimanan dalam Al Qur’an, bahwasanya keimanan yang harus dimiliki oleh seorang muslim tidak boleh didahului dengan keragu-raguan seperti yang tersurat dalam surah Yunus: 36.

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan. (Yunus: 36)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkatalah Yang Baik Atau Diam.

Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...