"Aku adalah Ar Rahman, Aku menciptakan rahim, Kuambilkan untuknya nama yang berakar dari namaKu, siapa yang menyambungnya (silaturahmi) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmatKu baginya). (H.R. Abu Daud dan At Tirmidzi melalui AbdurRahman bin 'Auf). Dari Aisyah ra berkata : "Serombongan orang-orang Yahudi minta izin bertetamu kepada Rasulullah saw lalu mereka ucapkan : Assamu'alaikum (racun untukmu)". Jawab Aisyah "Bal'alaikumussaam wal la'nah (bahkan untukmulah racun dan kutukan). Maka bersabda Rasul, "Ya Aisyah ! Sesungguhnya Allah senang dengan kelemahlembutan dalam segala urusan". Kata Aisyah "Tidakkah engkau dengar ucapan mereka?". Jawab beliau, "Ya, aku mendengarnya bahkan telah kujawab, wa'alaikum". (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra berkata Rasulullah bercerita, "Pada suatu ketika ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur, anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba dia terlihat oleh seorang wanita pelacur bangsa Yahudi. Maka dibukanya sepatu botnya kemudian dicedoknya air dengan sepatunya lalu diberinya minum anjing yang hampir mati itu. Maka Allah mengampuni dosa-dosa wanita itu." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra berkata Nabi saw bersabda : "Tatkala menciptakan makhluk, Allah ta'ala telah menulis dalam buku yang tersimpan di 'Arasy, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih besar daripada murka-Ku". (HR. Muslim)
Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra, Ha, dan Mim, mengandung makna "kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan". Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim, adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim karena kasih sayang yang terjalin antara anggota-anggotanya.
Rahmat lahir dan nampak di permukaan bila ada sesuatu yang dirahmati, dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya karena ketidakmampuannya maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Allah tidak demikian. Tetapi tulis Al Ghazaly, "jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan disanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih –sebagaimana rahmat Allah- tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk."
Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan maka menurut Imam AlGhazaly adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya, ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah rahmat Allah swt.
Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang menghendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka sedang Pemilik Rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun tidak wajar menerimanya.
Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nya pun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.
Apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini. Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkanNya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat fi'il/perbuatan Tuhan.
Dia Rahman berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh tetapi tidak langgeng terus menerus.
Rahmat menyeluruh tersebut menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia –mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidaklanggengannya maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk tetapi dunia itu sendiri, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi.
Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah, atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak, disisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa : "Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah) rezki yang baik?" Katakanlah, "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Al A'raf 7:32)
Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahiim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepadaNya.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secara faktual sedang rahmat yang disandangNya dan yang melekat pada diriNya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhlukNya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud / zat Yang memiliki sifat rahmat.
Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya, berbeda dengan seorang pemurah ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmatNya dan dengan Ar Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diriNya.
Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan : "Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu" (QS. Al A'raaf 7:156) dan dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku" (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Ar Rahman dan Ar Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Apabila disebutkan kata rahim maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak, pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatanNya dengan apapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?
Rasulullah memberikan ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu Hurairah katanya :
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda :'Allah swt menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisiNya sembilan puluh sembilan dan diturunkanNya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkut kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya. (HR. Muslim).
Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati? Menurut Al Ghazaly buah yang dihasilkan oleh rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa "ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersangkutan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut -tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upayapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya sebagai pengejawantahaan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murkaNya dan kejauhan dari sisiNya".
Sedang buah rahim menurut Al Ghazaly adalah "tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir di sekelilingnya atau dinegerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kekafirannya dengan harta, kedudukan atau berusaha melalui orang ketiga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaannya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihinya itu dalam kesulitan dan kebutuhan".
Arief Wiryanto
Diambil dari Buku Menyingkap Tabir Ilahi, karya Prof. Dr. Quraish Shihab, MA
http://ariefhikmah.blogdrive.com
Minggu, 21 November 2010
Ar-Rahman Ar-Rahim
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.