Hampir setiap orang bisa dipastikan ingin meraih kesempurnaan hidup. Dunia dapat, akhirat tidak tertinggal. Dalam paham komunisme pun, sekalipun mereka tidak meyakini adanya kehidupan sesudah mati, mereka tetap memimpikan adanya kesempurnaan hidup, yaitu dengan pencapaian kebahagiaan dunia. Untuk meraih tujuan yang satu ini, caranya bermacam-macam. Salah satu di antaranya adalah menumbuhkan segala potensi yang kita miliki.
Memupuk potensi yang ada, tidak mudah. Namun juga bukan persoalan yang sulit. Potensi, menurut Webster’s Dictionary, berasal dari kata ‘potent’ yang berarti ‘to be powerful’ atau menjadi kuat. Sedangkan kata ‘potency’ berarti ‘the ability or capacity to achieve or bring about a particular result’, yaitu kemampuan menghasilkan atau melahirkan suatu produk tertentu. Lawan katanya tentu saja impotent alias ketidakmampuan, atau ketidakberdayaan.
Tidak satupun di antara kita, sebagai umat Islam, mau disebut sebagai orang yang tidak berdaya. Karena orang-orang yang masuk kategori ini hanyalah orang-orang yang malas. Di rumah sakit jiwa (RSJ) saja, pasien-pasien dengan gangguan dan sakit jiwa ini dibekali dengan berbagai aktivitas positif. Malah di unit rehabilitasinya, mereka ini mampu menghasilkan uang. Hasil karya pasien-pasien RSJ kemudian, tentu dengan bantuan manajemen rumah sakit, dijual hingga dipamerkan. Demikian pula di panti-panti anak-anak cacat, orang jompo, dan lain-lain. Mereka tidak jarang menghasilkan karya-karya, hasil buah tangan yang membuat orang normal kagum. Pemberdayaan segala potensi yang ada ini, jika diupayakan dengan sungguh-sungguh, bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Thomas Alva Edison (1847-1931), penemu generator listrik di Amerika Serikat, melakukan 2000 kali percobaan sebelum dia mendapatkan hasilnya. Selama itu pula dia katakan bahwa apa yang dilakukan bukanlah kegagalan. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan, sepanjang bertujuan positif, akan membuahkan hasil tertentu yang juga positif. Dan ini berarti pula upaya penumbuhan dan pengembangan potensi.
Kita biasanya kurang pandai mengidentifikasi potensi yang kita miliki. Ada beberapa hal yang menyebabkan ketidakmampuan ini. Baik faktor dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Jika dirinci secara umum, faktor-faktor tersebut meliputi: kurangnya materi (poverty), rendahnya penampilan fisik (lack of performance), kedangkalan ilmu (lack of knowledengane), serta tidak memiliki keterampilan cukup (unskilled). Ketidakadaan salah satu atau gabungan dari keempat faktor inilah yang membuat kita menjadi ‘rendah diri’, sehingga pemupukan potensi jadi ‘tertunda’ atau tidak pernah muncul sama sekali.
Dalam agama Islam, ‘kegagalan’ ini tentu saja tidak harus terjadi, karena bertentangan dengan prisnip-prinsip yang diajarkan di dalamnya. Islam mengajarkan kita untuk bekerja keras dan pandai memanfaatkan waktu. Bahkan Allah SWT bersumpah dengan waktu (al-Quran Surat Al ‘Asr: 1-3). Rasulullah SAW dan Sahabat-sahabat beliau SAW dalam banyak riwayat disebutkan bahkan jarang tidur karena berbagai aktivitas. Setiap kegiatan positif yang diniatkan ibadah dalam Islam akan mendapatkan pahala.
Kita memang tidak mungkin menyamakan kedudukan atau kegiatan kita dengan apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat-sahabat beliau SAW. Kita juga tidak perlu meniru apa yang pernah dikerjakan oleh Thomas Alva Edison yang notabene bukan orang Islam. Namun kita bisa meneladani apa-apa yang beliau-beliau pernah lakukan. Bahwa guna mewujudkan sebuah tujuan, apapun, dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan.
Tanpa kesungguhan dan keseriusan, tidak mungkin kita bisa bangun dan menjalankan sholat Fajr. Tanpa kesungguhan, kita tidak bisa menyisakan barang sepuluh menit ditengah-tengah kesibukan kerja menunaikan sholat Dzuhur. Tanpa kesungguhan, kita tidak akan bisa melaksanakan Sholat Asar karena tengah tidur siang nyenyak. Demikian juga ibadah-ibadah yang lain, tidak bakal terlaksana karena kekurangan unsur yang satu ini.
Kita ini memang lemah. Kita tidak akan bisa sempurna, meniru persis seperti apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, Rasulullah SAW adalah juga manusia biasa, yang kalau kita mau mengkaji, ada hal-hal yang bukannya di luar kemampuan kita untuk mencontohnya. Rasulullah SAW pernah menjadi seorang negarawan yang hebat; seorang ahli perang yang gagah berani; ahli hukum yang bijaksana; seorang ayah yang penuh kasih; pedagang yang jujur; hingga penggembala domba yang bisa dipercaya. Subhanallah, karakter yang dimiliki beliau SAW bukan hanya dikagumi oleh kawan, musuh beliau pun dibuat takjub.
Terlepas dari kebesaran Allah SWT atas keberhasilan beliau SAW dalam membawa misi Islam yang hanya dalam dua dekade saja bisa menguasai jazirah Arabia, beliau SAW hanyalah manusia biasa, sebagaimana kita. Beliau memiliki waktu 24 jam sehari, berkeluarga dan bermasyarakat, bekerja mulai dari yang nampaknya sepele misalnya menjahit baju hingga mengurus pemerintahan sebuah negara, butuh istirahat dan makan, dan lain-lain. Begitulah Rasulullah SAW.
Berbeda dengan kita, beliau SAW jauh dari menjalankan kegiatan yang sifatnya sia-sia dan tidak bermanfaat. Di sinilah membuktikan bahwa Rasulullah SAW sangat menghargai waktu. Di dunia, hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi kualitas beliau SAW sebagai manusia yang terbaik. Dari berbagai sudut pandang, politik, ekonomi, sosial, spiritual, hingga pertahanan keamanan, beliau memiliki kesungguhan dalam menjalankan misi mulianya sebagai seorang Rasul.
Allah SWT menghadiahkan potensi tidak hanya kepada Rasul-Rasulnya. Tetapi juga kepada semua manusia, tanpa memandang latar belakang agama dan status sosial lainnya. Siapa yang tekun, akan beruntung. Kalau orang-orang yang buta, lumpuh atau mereka yang kehilangan tangan, dapat melakukan sesuatu yang produktif, mengapa kita yang dikaruniai jasmani lengkap ini tidak kita maksimalkan?
Kemiskinan (proverty) bukanlah alasan kita untuk tidak bisa aktif, karena Rasulullah SAW bukan orang kaya. Ketidaktampanan atau kurang cantik (lack of performance) bukan alasan untuk tidak bisa menumbuhkan potensi, karena Rasulullah SAW atau isteri-isteri serta puteri-puteri beliau tidak menggunakan ketampanan atau kecantikannya untuk pencapaian tujuan hidup sebagaimana ratu kecantikan yang melanda dunia kita sekarang. Kekurangan pengetahuan (lack of knowledengane) dan ketrampilan (unskilled) bukan pula mestinya menjadikan kita untuk pasif. Sahabat-sahabat Rasulullah semula banyak yang buta huruf dan tidak berpengetauan. Musuh-musuh beliau SAW yang menjadi tawanan perang lah yang mengajari mereka membaca menulis. Dengan kesungguhan belajar, mereka kemudian dinobatkan menjadi umat pilihan dan terbaik oleh Allah SWT. Hal ini disebutkan dalam al-Quran Surat Ali Imran: 109.
Kita tidak bisa memotong rambut, karena tidak pernah mau belajar memotong. Kita tidak bisa menjahit baju robek, karena tidak pernah mau melihat bagaimana cara menjahit. Kita tidak bisa menanam sayur di halaman rumah yang kosong, karena tidak pernah meniatkan untuk itu. Kita tidak bisa memasak enak, karena tidak pernah bertanya pada orang-orang yang pintar memasak. Kita memiliki pengetahuan yang minim, karena kita tidak pernah menyisakan waktu untuk membaca buku. Kita tidak memiliki teman dan banyak saudara, karena kita terlalu membatasi diri.
Jika diurut, betapa panjangnya rentetan ketidakmampuan kita, yang bukan disebabkan karena faktor luar. Terlebih, karena ketidaksungguhan diri kita. Hasan al-Banna pernah mengatakan, ‘waktu adalah kehidupan’. Itu berarti, bahwa jika kita hidup, sudah seharusnya kehidupan ini kita ‘isi’. Memanfaatkan waktu dengan kesungguhan dalam melakukan kegiatan adalah kuncinya.
Kenapa negara kita yang kaya raya dan besar ini terpuruk? Dengan Singapura yang luasnya tidak lebih dari Jawa Timur saja kalah. Apalagi dengan negara-negara Timur Tengah, Eropa dan Amerika. Ini karena orang-orang kita tidak lagi melakukan pekerjaan dengan kesungguhan. Menteri Pariwisata kita beberapa waktu lalu dalam seminar di Bali, jadi bahan olokan peserta hanya karena tidak becus berbahasa Inggris. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur kasus busung lapar merajalela, padahal tanah air kita terkenal subur. Dulu orang Malaysia belajar di pesantren-pesantren kita. Kini, pendidikan kita, dilirik saja tidak. Awal Juni tahun ini, rombongan Malaysia mempromosikan pendidikannya di Dubai dan Pakistan. Ahli pendidikan kita, akan melawat kemana?
Marilah kita mulai dari yang sederhana saja. Rasulullah SAW pernah bersabda, jika segala sesuatu tidak ditangani oleh ahlinya, tunggulah kehancurannya. Maka dari itu, kita bisa belajar dari yang kecil.
Pertama: kita coba mengidentifikasi potensi dan kemampuan diri sendiri serta memanfaatkannya dengan maksimal. Mengidentifikasi kemampuan diri berarti refleksi diri, melihat kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kita coba berkaca, apa kemampuan yang nampak menonjol pada diri kita, apakah itu di bidang mesin, kesehatan, administrasi, teknik, pertukangan, perhotelan, perdagangan, elektronik, komunikasi, dan lain-lain. Jika langkah pertama ini tidak tercapai, lakukan langkah kedua.
Kedua: kita perluas hubungan. Membatasi pergaulan berarti menghambat perkembangan potensi. Rasulullah SAW selalu bersama dengan sahabat-sahabat beliau jika kemana-mana pergi. Demikian pula sahabat-sahabat beliau. Menjalin hubungan dengan orang lain berarti membuka pintu potensi baru yang selama ini tertutup. Kita tidak pernah tahu bagaimana nikmatnya bisa berbicara bahasa Arab atau Inggris kalau kita tidak bertemu langsung dengan pembicara aslinya. Kita tidak akan tahu bagaimana mengoperasikan telepon genggam jika kita tidak pernah kenal dengan orang yang mampu menggunakannya. Bila langkah kedua ini tidak berhasil, karena barangkali kita tergolong introvert (tertutup), lakukan langkah ketiga.
Ketiga: jangan biarkan diri ini diam manakala sendirian. Di dalam Islam, tidur pun bisa berarti ibadah. Tapi itu bukan berarti dapat kita terjemahkan bahwa banyak tidur lantas banyak ibadah. A.B. Vajpayee saja, mantan Perdana Menteri India yang Hindu, membatasi tidurnya hanya empat jam sehari. Demikian pula rata-rata pemimpin dunia, sedikit tidur. Kita bisa mengisi waktu sehari-hari ini dengan berbagai kegiatan yang memberikan sumbangan pengetahuan dan keterampilan. Dalam kesendirian, kita bisa jadi seorang peneliti, penulis, hingga pengamat yang handal.
Penatalaksanaan salah satu aspek dari ketiga langkah ini atau kombinasi dari ketiganya, bila dilakukan terus menerus, bukan tidak mungkin akan menjadikan multi-skilled-man. Manusia yang memiliki keterampilan ganda. Tukang kayu merangkap kemampuan reparasi elektronik. Pinter masak tapi juga pandai memotong rambut. Insinyur namun juga pandai dakwah. Ahli kesehatan yang juga pandai menulis, dan lain-lain.
Ringkasnya, kita tidak butuh sederetan gelar ataupun segudang penemuan ilmiah agar dikatakan berhasil dalam hidup ini, karena poin tertinggi manusia di hadapan Allah SWT hanyalah taqwa. Kita bisa ‘besar’ karena telah mampu menemukan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Dari penggalian kompetensi diri insyaallah akan lahir manusia-manusia yang berkualitas, berpotensi tinggi, hingga manusia ahli.
Penggalian potensi diri yang tepat akan membuat setiap individu sadar akan perannya. Setiap pribadi yang cinta kerja, dengan landasi niat ibadah, akan menciptakan tatanan dan pola pikir masyarakat yang sehat. Yang pada akhirnya, insyaallah, bakal mampu mengeliminasi salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa kita selama ini, yakni pengangguran.
Wallahu a’lam.
Syaifoel Hardy
Shardy@emirates.net.ae
www.eramuslim.com
Kamis, 04 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.