Kondisi bayi yang lahir dengan bobot berlebih justru harus lebih dipantau demi menghindari risiko di kemudian hari
Sebenarnya siapa sih yang disebut bayi berat lahir berlebih itu? Ada dua kelompok. Pertama, bayi yang begitu lahir memiliki bobot lebih dari 3.900 gram. Padahal normalnya, sekitar 2.500-3.800 gram. Kondisi yang dikenal sebagai giant baby ini dapat terbawa sampai anak tumbuh dewasa.
Yang kedua, bobot si kecil sewaktu lahir tergolong normal tapi pada masa pertumbuhannya naik cukup banyak hingga melebihi ambang batas grafik pertambahan berat badan. Nah, bayi seperti ini diistilahkan sebagai bayi dengan berat badan di atas rata-rata. Kondisi ini umumnya disebabkan pola makan bayi yang berlebihan dan asupan gizi yang tidak seimbang. Obesitas pada anak diklasifikasikan berdasarkan hasil pengukuran berat badan dibandingkan panjang badannya. Dikatakan obesitas ringan bila perbandingan berat terhadap panjang badan antara 120-135%, sedangkan disebut obesitas berat bila perbandingan berat terhadap panjang badannya antara 150-200%.
MENGAPA JANIN BISA KELEBIHAN BERAT?
1. Ibu menderita kencing manis (Diabetes Melitus/DM)
Kadar gula darah ibu hamil penderita DM tergolong tinggi. Kondisi inilah yang memberi peluang janin untuk tumbuh melebihi ukuran rata-rata. Jika fungsi plasenta dan tali pusat baik, maka si calon bayi dapat tumbuh makin "subur".
2. Ibu memiliki riwayat melahirkan bayi besar
Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan giant baby berpeluang besar melahirkan anak kedua dan seterusnya dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya.
3. Faktor genetik
Obesitas dan overweight yang dialami ayah atau ibu dapat menurun pada bayi.
4. Pengaruh kecukupan gizi
Porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadap bobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat di atas rata-rata normal.
5. Bukan kehamilan pertama
Ada kecenderungan berat badan lahir anak kedua dan seterusnya lebih besar ketimbang anak pertama. Jika anak pertama lahir dengan bobot 3,8 kg, umpamanya, tidak mustahil anak kedua dilahirkan dengan berat 4 kg. Toh, ini bukan patokan pasti. Adakalanya justru anak kedua dan seterusnya dilahirkan dengan berat badan lebih kecil. Hal ini juga tergantung pada asupan nutrisi, faktor genetik, dan sebagainya.
RISIKO APA SAJA YANG DIHADAPI?
Seperti yang dikatakan tadi, bayi montok memang imut-imut tapi belum tentu sehat. Ada beberapa risiko yang mesti diwaspadai, berikut di antaranya:
1. Rendah kadar gula darah
Bayi dengan berat lahir lebih dari 3,9 kilogram yang dilahirkan dari ibu penderita DM akan diperiksa kondisi gula darahnya. Antisipasi ini dilakukan agar kadar gula darah bayi tidak drop begitu ia lahir akibat terhentinya suplai makanan dari sang ibu melalui plasenta. Kalau kadar gulanya memang rendah, bayi akan diberi cairan yang mengandung kadar gula tertentu. Umumnya dalam waktu 24 jam kondisinya akan kembali normal.
2. Obesitas
Bayi gemuk kelak berisiko mengalami obesitas. Hal ini akan berdampak kurang baik terhadap fungsi-fungsi organ tubuhnya. Jika ayah/ibu mengalami obesitas maka si kecil berpeluang 50% mengalami kondisi yang sama. Meski begitu, tidak semua bayi overweight pasti tumbuh menjadi anak obesitas. Ada yang berat badannya justru jadi normal atau malah jadi kurus. Semua ini bergantung pada pola makan dan banyaknya aktivitas yang dijalani.
3. Keterlambatan kemampuan bergerak
Tubuh bayi yang gemuk dapat menghambat gerakan/aktivitasnya. Karena itu tak jarang, bayi-bayi gemuk mengalami keterlambatan perkembangan. Misalnya, di usia 7 bulan yang seharusnya sudah bisa duduk belum dapat dilakukan. Untuk itu, ia mesti rajin-rajin distimulasi. Bentuk stimulasi yang diberikan sama dengan bayi-bayi lain, hanya harus lebih sering.
TAK BOLEH DIET
Yang jelas, walau si kecil tergolong "kelas berat", ia tidak dianjurkan menjalani diet. Ini artinya, makanan yang dikonsumsi tak boleh dikurangi atau bahkan dihentikan. Mengencerkan susu bayi pun tak diperkenankan karena sama-sama akan berdampak negatif. Salah satunya, kebutuhan kelori bayi jadi tidak terpenuhi sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan berisiko jatuh sakit.
Orang tua hanya perlu memodifikasi pola konsumsi si kecil. Umpamanya, jika setelah berusia 6 bulan bayi lebih banyak mengonsumsi susu, selingi dengan makanan pendamping ASI yang kandungan gizinya memadai tapi tidak berlebihan. Untuk bayi di bawah 6 bulan, berikan ASI eksklusif untuk mencegah terjadinya obesitas.
Cara lain adalah mengonsumsi lebih banyak buah-buahan. Contohnya, bila sebelumnya dalam satu hari si kecil hanya mengonsumsi satu kali asupan buah-buahan sekarang bisa ditambah menjadi dua atau tiga kali pemberian menggantikan bubur beras atau bubur tepung lainnya. Alhasil, asupan karbohidratnya tidak terlalu banyak.
Perkembangan status gizi bayi dapat dipantau berkala setiap bulan dengan cara menimbang berat badan dan mengukur panjang badannya. Pemantauan ini perlu untuk mencegah kemungkinan terjadinya obesitas. Bila berat badan naik berlebihan dalam kurun waktu 1-3 bulan di atas rata-rata penambahan berat badan, orang tua harus berkonsultasi lebih intensif ke dokter.
TAK PERLU MEMBANDINGKAN
Idealnya, berat badan bayi berada di garis normal pada grafik pertumbuhan. Ini artinya, pertambahan berat badannya seimbang dengan pertambahan tinggi badan dan usia. Untuk itulah, orang tua dianjurkan untuk selalu memantau berat badan bayinya secara berkala dengan membawa si kecil kontrol ke dokter/posyandu sebulan sekali.
Masalahnya, orang tua kerap membanding-bandingkan berat badan si kecil dengan bayi lain. Kalau ia tidak semontok yang lain, ayah/ibu langsung mengambil kesimpulan kalau bayinya kekurangan gizi, kurang sehat, dan sebagainya. Tentu hal ini tidak benar. Fisik si kecil yang kurus tak mesti menandakan dia bermasalah selama BB-nya masih dalam range normal pada grafik pertumbuhan. Adakalanya badan si kecil bertambah panjang sehingga kelihatan kurus padahal berat badannya tetap naik. Ini yang penting.
Jangan lupa, bahwa setiap anak itu unik, berbeda, dan memiliki ciri khas tersendiri. Bahkan, dibandingkan kakak ataupun adiknya. Jadi tentu tidak bijaksana.
Konsultan ahli:
dr. Rini Sekartini, Sp.A,
dari Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
sumber: http://www.tabloid-nakita.com
Minggu, 09 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.