Qiyamul Lail
OlehDr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ...." [Al-Fat-h: 4]
Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi'ar yang ada padanya merupakan syi'ar ta'abbudiyyah yang disyari'atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, "Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya."
Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, "....Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do'a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an..." [1]
Pembahasan 1
QIYAMUL LAIL
Qiyamul lail atau yang sering disebut dengan shalat Tarawih hukumnya adalah sunnah bagi laki-laki maupun perempuan. Shalat ini dikerjakan setelah shalat 'Isya', meski disatukan dengan jamak taqdim dan dikerjakan dua rakaat dua rakaat sebelum shalat Witir. Waktunya berlangsung sampai akhir malam. Shalat ini bisa dikerjakan dengan berjama'ah maupun sendiri-sendiri, tetapi berjama'ah adalah lebih baik.
Dan itulah yang dimaksud dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa mengerjakan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah berlalu ..." [2]
Yang dimaksud dengan penuh keimanan di sini adalah iman kepada Allah dan kepada pahala yang disiapkan-Nya bagi orang-orang yang melakukan qiyamul lail. Dan makna sabda beliau 'ihtisaaban' berarti mengharapkan pahala dari Allah, dan hal itu tidak untuk riya' dan sum'ah serta tidak pula mencari harta atau kehormatan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensunnahkan qiyam Ramadhan dengan berjama'ah, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya karena takut shalat tersebut akan diwajibkan kepada umatnya, sedang mereka tidak mampu menunaikan kewajiban ini.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: "Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar di tengah malam dan mengerjakan shalat di masjid maka ada beberapa orang yang shalat bersama beliau mengikuti shalat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu pada pagi harinya, orang-orang membicarakannya, sehingga berkumpullah orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah mereka dan mengerjakan shalat bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu pada pagi harinya orang-orang bangun dan membicarakan hal tersebut, sehingga jama'ah masjid pun semakin banyak pada malam ketiga. Lalu Rasulullah keluar dan mereka pun mengikuti shalat beliau. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dan mengerjakan shalat, dan orang-orang pun shalat mengikuti shalat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan pada malam keempat, masjid sudah tidak lagi mampu menampung jama’ahnya. Hingga akhirnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh. Setelah selesai mengerjakan shalat Shubuh, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kepada orang-orang, lalu bertasyahhud dan kemudian berkata, "Amma ba'du. Sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan kedudukan kalian, tetapi aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian sehingga kalian tidak mampu mengerjakannya." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia dan masalahnya dalam keadaan seperti itu ..." [3]
Para ulama Salaf berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dalam shalat Tarawih dan Witir yang menyertainya.
a. Ada yang berpendapat, 11 rakaat.
b. Ada yang menyatakan, 13 rakaat.
c. Ada juga yang menyebutkan, 17 rakaat.
d. Ada pula yang berpendapat, 19 rakaat.
e. Ada yang mengatakan, 21 rakaat.
f. Juga ada yang menyatakan, 23 rakaat.
g. Ada yang berpendapat, 25 rakaat.
h. Serta ada pula yang menyatakan, 27 rakaat.
i. Juga ada yang berpendapat, 39 rakaat.
j. Ada juga yang menyebutkan, 41 rakaat.
k. Serta ada yang mengatakan, 47 rakaat. [4]
Dan yang paling rajih adalah pendapat yang menyebutkan 11 rakaat atau 13 rakaat dengan lama pada saat berdiri, ruku dan sujud. Tetapi jika berdiri, ruku dan sujudnya sebentar maka jumlah rakaatnya ditambah.
Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha ketika ditanya tentang shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka dia menjawab: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 rakaat pada bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan 4 rakaat ; jangan tanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 4 rakaat; dan jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat 3 rakaat." Aisyah berkata: "Lalu kutanyakan, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan Witir? Beliau menjawab:
'Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur..." [5]
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 13 rakaat, yakni pada malam hari ...." [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, " ....Jadi, banyak atau sedikitnya rakaat itu tergantung pada panjang atau pendeknya berdiri..." Lebih lanjut, beliau mengatakan, "Yang paling baik adalah dengan melihat keadaan jama'ah yang mengikuti shalat, jika ada kecenderungan memperpanjang berdiri pada mereka, maka (hendaklah) mengerjakan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat seorang diri pada bulan Ramadhan dan juga selainnya, maka yang demikian itu adalah yang lebih baik. Jika tidak ada kecenderungan pada mereka untuk memperpanjang berdiri, maka (hendaklah) mengerjakan 20 rakaat, dan itu yang terbaik. Dan itulah yang diamalkan oleh kebanyakan kaum muslimin." [7]
Dapat saya (penulis) katakan bahwa itulah yang berlangsung pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sedangkan sekarang ini, mayoritas kaum muslimin mengerjakan shalat Tarawih tidak lebih dari 13 rakaat. Sebagian imam mengerjakan shalat Tarawih dengan sangat cepat sehingga hilang darinya kewajiban untuk tuma'ninah yang menurut sebagian ulama, ia (tuma'ninah) merupakan rukun, di mana shalat tidak sah tanpanya. Sehingga orang-orang lemah dan orang-orang tua yang ada di belakangnya merasa kelelahan karena cepatnya berdiri dan turun dari ruku dan sujud. Oleh karena itu, hendaklah seorang imam benar-benar bertakwa kepada Allah dan memelihara keadaan para makmum serta menjalankan amanah imamah dengan sebaik-baik-nya, karena dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, yaitu orang-orang yang ikut shalat di belakangnya.
Dan tidak ada larangan atas kehadiran kaum wanita di dalam shalat Tarawih dengan syarat aman dari fitnah. Mereka harus berangkat dalam keadaan tertutup lagi berhijab, tanpa berhias serta tidak juga memakai wangi-wangian, menunaikan shalat dengan khusyu’ dan tunduk dengan menjauhi perkataan yang tidak berarti, ghibah, namimah, serta hal-hal yang berkenaan dengan rumah tangga mereka untuk menjaga kesucian masjid.
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnotes[1]. Kitaabush Shiyaam wa Fadhli Syahri Ramadhan (hal. 23).[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/39) dan Shahiih Muslim (II/177))[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/40) dan Shahiih Muslim (II/177))[4]. Fat-hul Baari (IV/253, 254).[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/40))[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (II/46) dan Shahiih Muslim (II/178))[7]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXIII/113).
Tambahkan keterangan gambar
Qiyamul Lail
OlehDr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ...." [Al-Fat-h: 4]
Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi'ar yang ada padanya merupakan syi'ar ta'abbudiyyah yang disyari'atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, "Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya."
Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, "....Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do'a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an..." [1]
Pembahasan 1
QIYAMUL LAIL
Qiyamul lail atau yang sering disebut dengan shalat Tarawih hukumnya adalah sunnah bagi laki-laki maupun perempuan. Shalat ini dikerjakan setelah shalat 'Isya', meski disatukan dengan jamak taqdim dan dikerjakan dua rakaat dua rakaat sebelum shalat Witir. Waktunya berlangsung sampai akhir malam. Shalat ini bisa dikerjakan dengan berjama'ah maupun sendiri-sendiri, tetapi berjama'ah adalah lebih baik.
Dan itulah yang dimaksud dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa mengerjakan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah berlalu ..." [2]
Yang dimaksud dengan penuh keimanan di sini adalah iman kepada Allah dan kepada pahala yang disiapkan-Nya bagi orang-orang yang melakukan qiyamul lail. Dan makna sabda beliau 'ihtisaaban' berarti mengharapkan pahala dari Allah, dan hal itu tidak untuk riya' dan sum'ah serta tidak pula mencari harta atau kehormatan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensunnahkan qiyam Ramadhan dengan berjama'ah, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya karena takut shalat tersebut akan diwajibkan kepada umatnya, sedang mereka tidak mampu menunaikan kewajiban ini.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: "Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar di tengah malam dan mengerjakan shalat di masjid maka ada beberapa orang yang shalat bersama beliau mengikuti shalat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu pada pagi harinya, orang-orang membicarakannya, sehingga berkumpullah orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah mereka dan mengerjakan shalat bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu pada pagi harinya orang-orang bangun dan membicarakan hal tersebut, sehingga jama'ah masjid pun semakin banyak pada malam ketiga. Lalu Rasulullah keluar dan mereka pun mengikuti shalat beliau. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dan mengerjakan shalat, dan orang-orang pun shalat mengikuti shalat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan pada malam keempat, masjid sudah tidak lagi mampu menampung jama’ahnya. Hingga akhirnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh. Setelah selesai mengerjakan shalat Shubuh, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kepada orang-orang, lalu bertasyahhud dan kemudian berkata, "Amma ba'du. Sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan kedudukan kalian, tetapi aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian sehingga kalian tidak mampu mengerjakannya." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia dan masalahnya dalam keadaan seperti itu ..." [3]
Para ulama Salaf berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dalam shalat Tarawih dan Witir yang menyertainya.
a. Ada yang berpendapat, 11 rakaat.
b. Ada yang menyatakan, 13 rakaat.
c. Ada juga yang menyebutkan, 17 rakaat.
d. Ada pula yang berpendapat, 19 rakaat.
e. Ada yang mengatakan, 21 rakaat.
f. Juga ada yang menyatakan, 23 rakaat.
g. Ada yang berpendapat, 25 rakaat.
h. Serta ada pula yang menyatakan, 27 rakaat.
i. Juga ada yang berpendapat, 39 rakaat.
j. Ada juga yang menyebutkan, 41 rakaat.
k. Serta ada yang mengatakan, 47 rakaat. [4]
Dan yang paling rajih adalah pendapat yang menyebutkan 11 rakaat atau 13 rakaat dengan lama pada saat berdiri, ruku dan sujud. Tetapi jika berdiri, ruku dan sujudnya sebentar maka jumlah rakaatnya ditambah.
Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha ketika ditanya tentang shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka dia menjawab: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 rakaat pada bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan 4 rakaat ; jangan tanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 4 rakaat; dan jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat 3 rakaat." Aisyah berkata: "Lalu kutanyakan, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan Witir? Beliau menjawab:
'Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur..." [5]
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 13 rakaat, yakni pada malam hari ...." [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, " ....Jadi, banyak atau sedikitnya rakaat itu tergantung pada panjang atau pendeknya berdiri..." Lebih lanjut, beliau mengatakan, "Yang paling baik adalah dengan melihat keadaan jama'ah yang mengikuti shalat, jika ada kecenderungan memperpanjang berdiri pada mereka, maka (hendaklah) mengerjakan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat seorang diri pada bulan Ramadhan dan juga selainnya, maka yang demikian itu adalah yang lebih baik. Jika tidak ada kecenderungan pada mereka untuk memperpanjang berdiri, maka (hendaklah) mengerjakan 20 rakaat, dan itu yang terbaik. Dan itulah yang diamalkan oleh kebanyakan kaum muslimin." [7]
Dapat saya (penulis) katakan bahwa itulah yang berlangsung pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sedangkan sekarang ini, mayoritas kaum muslimin mengerjakan shalat Tarawih tidak lebih dari 13 rakaat. Sebagian imam mengerjakan shalat Tarawih dengan sangat cepat sehingga hilang darinya kewajiban untuk tuma'ninah yang menurut sebagian ulama, ia (tuma'ninah) merupakan rukun, di mana shalat tidak sah tanpanya. Sehingga orang-orang lemah dan orang-orang tua yang ada di belakangnya merasa kelelahan karena cepatnya berdiri dan turun dari ruku dan sujud. Oleh karena itu, hendaklah seorang imam benar-benar bertakwa kepada Allah dan memelihara keadaan para makmum serta menjalankan amanah imamah dengan sebaik-baik-nya, karena dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, yaitu orang-orang yang ikut shalat di belakangnya.
Dan tidak ada larangan atas kehadiran kaum wanita di dalam shalat Tarawih dengan syarat aman dari fitnah. Mereka harus berangkat dalam keadaan tertutup lagi berhijab, tanpa berhias serta tidak juga memakai wangi-wangian, menunaikan shalat dengan khusyu’ dan tunduk dengan menjauhi perkataan yang tidak berarti, ghibah, namimah, serta hal-hal yang berkenaan dengan rumah tangga mereka untuk menjaga kesucian masjid.
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnotes[1]. Kitaabush Shiyaam wa Fadhli Syahri Ramadhan (hal. 23).[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/39) dan Shahiih Muslim (II/177))[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/40) dan Shahiih Muslim (II/177))[4]. Fat-hul Baari (IV/253, 254).[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/40))[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (II/46) dan Shahiih Muslim (II/178))[7]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXIII/113).
Sabtu, 26 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkatalah Yang Baik Atau Diam.