Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Rabu, 26 Januari 2011

Wanita Muslim Pacaran Dengan Pria Beristri Katolik

Assalamu'alaikum wr.wb

Saya mau tanya hukumnya bagaimana jika seorang perempuan muslim pacaran dengan seorang pria katolik dan telah beristri. Pria tersebut belum bercerai hingga saat ini dan perempuan tersebut mengetahuinya sedangkan si pria tersebut tetap tidak akan meninggalkan agamanya.

Krisna - Jl.kebonrumput 24B Cimahi


Jawab:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.

Paling tidak ada 3 masalah berat yang harus dihadapi oleh wanita yang anda ceritakan. Dan ketiganya ini lumayan berat sehingga jauh lebih baik bila dia berhenti saja dari urusan ini, agar hidupnya bisa tenang dunia dan akhirat.

Ketiga masalah berat itu kalau mau dirinci adalah :

1. Pacaran

Hukum pacaran itu untuk mudahnya adalah haram, bila kita menyandarkan istilah pacaran itu dengan konteks masa kini. Yaitu praktek yang sangat dekat dengan zina atau bahkan dalam beberapa kasus, pacaran itu sering kali tidak bisa dibedakan dengan zina.

Penelitian para pengamat menunjukkan bahwa umumnya orang berpacaran itu sulit dilepaskan dari urusan zina, dengan hubungan seksual langsung ataupun dengan percumbuan ‘basah’ dan ‘kering’. Semua ini sudah bisa dijadikan dasar bahwa pacaran itu haram dan identik dengan zina, paling tidak sangat dekat dengan zina.

2. Dengan Pria Katolik

Wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki lain agama, meski katolik sekalipun. Bahwa ada pendpat ulama yang membolehkan nikah beda agama, hanya mungkin dilakukan bila yang lain agama itu yang wanita. Itupun bila wanita itu adalah seorang wanita kitabiyah (ahli kitab) seperti nasrani dan yahudi. Dan tentu saja dengan sekian banyak catatan yang harus dijadikan bahan pertimbangan.

Namun pintu nikah beda agama mutlak tertutup manakala pihak wanitanya yang beragama Islam. Keharamannya sangat jelas dan transparan. Menolaknya sama saja menolak agama Islam sebagai jalan hidup.

3. Sudah Beristri

Menikah dengan laki-laki yang sudah beristri tidak diharamkan dalam Islam. Ada pintu dan peluang untuk melakukannya. Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena melihat siyaq ayatnya memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang. Allah berfirman :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa : 3)

Jadi syarat utama adalah adil terhadapat istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman.

Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, aka begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya.

Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali.

Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi Thalib tidak melakukan poligami.

Kalau hukum poligami itu sunnah atau dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali berpoligami akan bertentangan.

Selain itu yang sudah menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Biar bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus.

Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk istri dan anak, tapi lebih dari itu, bagaiman dia merencakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya.

Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti masalah pembagian jatah menginap. Menginap di rumah istri harus adil. Misalnya sehari di istri tua dan sehari di istri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.


syariah online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkatalah Yang Baik Atau Diam.

Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...