Iqro Club Mataram, The New Moslem Generation
iqro club kota mataram. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat Membaca Artikel IC Mataram

Sabtu, 15 Januari 2011

Satu Mulut dan Dua Telinga

Momo. Demikian ia memanggil dirinya, dan demikian juga kemudian orang-orang pun memanggilnya. Seorang bocah kecil sebatang kara yang tak diketahui dari mana asalnya. Sesosok makhluk lusuh mungil yang tinggal di balik tembok sebuah bangunan yang nyaris runtuh. Dia tak banyak bicara. Pun ia tak mengganggu para warga. Ia hanya ada di sana, sendirian saja. Kadang kala pergi ke perkampungan penduduk desa untuk mendapatkan makanan yang ia tukar dengan tenaga.

Kondisinya membuat para penduduk desa iba. Maka warga penghuni kampung itu berbondong-bondong mengunjunginya. Mereka menawarkan kehidupan yang lebih layak dan wajar kepada Momo kecil. Hidup bersama warga di perkampungan, diasuh bergilir dari satu rumah warga ke rumah lainnya, mendapat makanan, tempat tinggal dan pakaian yang layak.

Tapi si Momo malah ternganga heran. Dia bertanya, apakah semua itu harus? Warga menjawab, tidak. Apakah tempat yang dia tinggali terlarang? Penduduk menjawab, tidak. Apakah dia boleh tetap tinggal di tempat yang ditinggalinya sekarang saja? Warga menjawab boleh. Maka si Momo pun tetap tinggal di situ, tempat bersahaja yang menjadi rumahnya. Tempat dia merasa merdeka dan gembira dengan keadaan dirinya.

Warga akhirnya memutuskan membenahi sedikit tempat itu agar lebih layak dihuni, aman dan nyaman. Mereka menutup tembok dan menyisakan pintu. Mereka membuat dipan kayu untuk tempat tidur Momo dan memberikan beberapa peralatan untuk membantunya menampung air dan membuat api.

Kemudian penduduk desa bergantian mengunjunginya. Mula-mula anak-anak kecil di antara mereka yang datang mengantarkan makanan kepada Momo sambil bermain di sekitar bangunan rusak itu. Lama kelamaan, bermain di "rumah" Momo menjadi sebuah pilihan. Bangunan rusak tempat tinggal Momo berubah menjadi tempat yang paling menyenangkan, mendamaikan, dan menenteramkan. Ketika ada yang mendapat masalah, dia datang ke tempat Momo dan pulang dengan wajah berseri. Waktu ada yang bersedih, mereka datang menemui Momo dan kembali dengan raut cerah kembali. Saat ada suami istri yang bertengkar dan saling marah, mereka mendatangi Momo dan keluar dari sana dengan bergandengan tangan kembali. Ketika ada yang merasa sakit pada jasadnya, mereka akan mengunjungi Momo, dan kemudian meninggalkannya dengan perasaan dan kondisi fisik yang jauh lebih baik.

Dan dari situlah sebuah perubahan berasal. Dari hanya kunjungan-kunjungan pendek itu, lama-lama berkembang sebuah ungkapan yang menjadi andalan setiap warga: "Jika engkau memiliki masalah, datanglah kepada Momo", "Jika engkau dirundung kemalangan, pergilah menemui Momo", "Kalau engkau merasakan kepedihan". Semua Momo. Seakan Momo adalah solusi.

Apakah Momo seorang anak indigo? Bukan! Bocah istimewa yang dikaruniai kekuatan indera keenam yang sering dianggap mampu menuntasi banyak hal? Bukan! Sama sekali bukan! Ataukah Momo mendapatkan wangsit dan kekuatan supranatural? Itu pun juga tidak benar. Jadi hal apakah yang membuat begitu banyak penyakit tersembuhkan? Sekian banyak permasalahan terselesaikan? Puluhan pilu kepedihan tertiriskan? Serta ratusan panas kemarahan terdamaikan?

Para penduduk juga tidak tahu. Tidak mengerti. Yang mereka tahu adalah, ketika mereka sedih dan bercerita pada Momo, Momo mendengarkan mereka dengan sepenuh hati. Ekspresi sungguh-sungguh pada wajah. Tatap mata yang sangat mendala menghunjam namun penuh pengertian. Sikap tubuh yang terasa amat peduli pada apa pun yang mereka ceritakan. Dia duduk diam mendengarkan. Berjam-jam. Pada semua orang. Tanpa kesah. Tanpa lelah. Tak ada interupsi. Tak ada usulan itu ini. Apalagi nasehat. Bahkan ketika yang curhat padanya adalah dua orang sekaligus yang tengah saling bertengkar. Momo tidak menyalahkan satu sama lain. Kedua belah pihak mendapatkan perhatian yang sama. Momo hanya akan duduk di tengah-tengah, mendengarkan dengan setia, tanpa melakukan pembelaan pada si A atau si B. Hanya duduk diam penuh kesungguhan sepenuh jiwa dengan semua indera terpasang.

Meski mungkin kadang Momo tidak mengerti tetang permasalahan yang banyak dibawa orang dewasa itu, karena dia hanya seorang anak kecil yang bahkan tak sekolah. Namun semua itu telah mampu membuat dada-dada mereka lega. Dan tiba-tiba saja mereka serasa mendapat pemecahan atas permasalahan yang demikian berat melilit tubuh dan perasaan. Mereka serasa mendapati beban yang tadinya demikian menyesakkan menimpa perasaan terangkat. Hingga mereka selalu dapat meninggalkan rumah Momo dengan hati lebih ringan dan suasana lebih riang. Dan itu, terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian.

Barangkali Momo hanya berpikir bahwa ia mesti berterima kasih atas semua perhatian dan pemberian dari para penduduk desa. Jika kemudian warga "hanya" menginginkan ia duduk mendengarkan cerita mereka sebagai balasannya, maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan apa yang mereka pinta sebagai bentuk rasa terima kasihnya. Momo tidak pernah menyadari, bahwa semua itu begitu berarti bagi para warga. Baik warga ataupun Momo sendiri tak ada yang menyadari ketika kehidupan warga kampung kemudian menjadi jauh lebih maju, lebih hangat, lebih berkembang, lebih indah, lebih ramah dan lebih menyenangkan karenanya.

Selalu ada saat seseorang memerlukan tempat untuk menumpahkan segala rasa galau, pedih, marah, benci dan jengkel. Selalu ada ketika seseorang memerlukan untuk mengungkapkan permasalahannya. Dan untuk itu, dia butuh seseorang yang lain "hanya" untuk "mendengarkannya" saja. Bukan memberitahunya apa yang perlu, mesti atau harus ia lakukan. Bukan menawarinya solusi. Dan semua itu, pada gilirannya akan mampu membantu melepaskan semua energi negatif yang diderita si pencerita. Dan semua itu, pada gilirannya akan membantu menjadi pembuka pintu penyelesaian masalah yang dihadapi sang pencerita. Pada gilirannya, semua itu akan menjadi pemicu terbukanya katup hati dan otak pikir sang pemilik masalah. Bahkan, bukan tidak mungkin, semua itu dapat pula menginspirasi jutaan hikmah bagi sang pendengar.

Dan untuk semua itu, Allah telah menyediakan sarananya. Ia memfasilitasi kita dengan -tidak cukup satu- dua telinga. Dan mencukupkan kita dengan satu mulut saja. Adakah kita menyadarinya?

@Azi, 7Juli tengah malam dengan sedikit revisi bada subuh
Syukron jaziilan buat yang kemarin mau 'mendengarkan'ku dan menggebrakku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkatalah Yang Baik Atau Diam.

Powered By Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...